Tulungagung,
31 Desember 2012
Sore
itu nampaknya menjadi sore yang menyenangkan buat mendung. Dari pagi hingga
menjelang asar, hujan tak henti mengguyur bumi Tulungagung. Terutama
Tulungagung bagian selatan yang sejak kemarin malam setia dengan hujannya. Dan
dalam situasi seperti ini, tiada hal yang lebih menarik dilakukan, kecuali:
pergi keluar rumah untuk main hujan-hujanan atau menikmati secangkir kopi
lengkap dengan gorengan dan rokoknya atau berfantasi ria bersama mimpi di
tempat tidur. Dan yang terakhir inilah yang sejak tadi dilakukan Budi. Hampir
dua jam ia hanya meringkuk di atas karpet merah di ruangan tempat ia
sehari-hari berkumpul dengan mimpinya. Ia sangat menikmati dunia fantasinya.
Rasa dingin sore itu menjadi teman setia dalam mengarungi mimpinya. Pertempuran
air hujan dengan atap rumah pun menjadi alunan pengiring konser mimpinya kala
itu. Rintikkan air langit bak petikan gitar “Dew Bujana” dalam dunia mimpinya.
Membawa ia melayang dalam keindahan yang semu. Keindahan yang tak seorangpun
mampu merusaknya. Hingga akhirnya kesemuan itu diporak- porandakan oleh
kesemuan yang lain. Irama yang telah ia susun selama 2 jam lebih kini rusak
karena melesetnya pukulan drum “Gilang Ramadhan”. Mata yang dari tadi menutup,
kini membuka dengan sendirinya. Sedikit demi sedikit. Sial! ke mana perginya musisi tadi? Gumam Budi dalam hati, sambil
ia mencoba mengumpulkan nyawa-nyawanya yang sudah dari tadi melayang-layang di
langit mimpi. “Masih hujan ya? Terus gimana nasibnya kembang api nanti malam
ya, kalo hujan kayak gini? Kasihan…” Budi melongok ke jendela dengan penuh
tawa. Ia sepertinya cukup senang. Sangat senang bahkan. Ketika melihat hujan
yang belum juga reda. Ia bahkan berharap agar nanti malam hujan deras, sehingga
tak ada yang namanya konvoi motor atau tiupan terompet atau yang paling sakral:
pesta kembang api. Iya, hari ini adalah hari terakhir dalam tahun “Kiamat”
(2012). Dan berarti nanti malam adalah malam Tahun Baru 2013. Di mana akan
menjadi malam yang begitu disakralkan orang semua orang, khususnya
pemuda-pemudi. Beragam hal yang dilakukan. Mulai dari nonton bareng, bakar ayam
bareng, konvoi jalanan, cumbuan dengan terompet, kembang api, atau bahkan sex
bebas. Dan itu semua sangatlah tidak menyenangkan bagi dia. Dari pada uang dihamburkan buat bercumbu
dengan terompet atau berpesta dengan kembang api, kan lebih baik untuk membantu
sesama saja. Toh, masih banyak penduduk kota ini yang jauh dari kata sejahtera.
Dan seharusnya mereka penguasa kota ini membuat aturan untuk itu semua. Bukan
malah mengadakan acara di Alun-Alun. Acara yang mendekatkan pada jiwa
konsumerisme, jiwa hura-hura, dan yang lebih parah ini akan mendekatkan pada
sex bebas. Lagi-lagi idealisme Budi hanya mampu menembus pikirannya
sendiri. Lama ia termenung dalam pikiran yang ia sendiri tak tahu. Tiba-tiba
bunyi yang sering ia dengar muncul dari benda putih nan kecil itu.
“Adaaaa…eess-eem-eess…” pertanda bahwa ada sms masuk. Ia mengarahkan tangannya
yang kurus itu ke meja di sampingnya. perlahan namun pasti, Budi membuka
HP-nya. Ternyata dua sms yang masuk. “Hoee..entar malem kita ke Alun-alun bro.
Ada aku, wahyu, dan maman. Dan yang pasti Lo harus ikut.” Kata-kata yang
tertera dalam sms Niko. Budi tak merespon apapun, dalam pikirannya masih
kosong. Ia hanya menggerakkan jari kecilnya memijit-mijit ponselnya untuk
membuka sms yang lain. Dan kata-kata yang tak berbeda ia jumpai kembali. Namun
kali ini dari Wahyu. “Bro…nanti malam kita sama anak-anak tahun baruan ke
Alun-alun. Aku nebeng ya? Hehe”. Pikiran yang dari tadi kosong, kini tiba-tiba
seperti disuguhi ribuan pertanyaan tentang relativitas dan quantumnya Albert
Einstein, yang ia sendiri tak tahu apa itu relativitas dan quantum. Bingung.
Rasa itu yang seketika menghinggapi perasaan Budi. Terjadi perang saudara dalam
dirinya. Antara ajakan sahabat dengan idealisme-nya sendiri. Mereka semua
adalah sahabat terbaiknya. Sahabat yang setia mendengarkan keluh kesahnya.
Sahabat yang selalu menolongnya kala kesusahan melanda. Dan kini, sahabat
itulah yang mengajak dia untuk menghapus sementara idealisme-nya. Lama Budi
hanya termenung. Ia tak tahu tindakan mana yang harus ia ambil. Ikut dengan
sahabatnya atau berdiam diri di depan laptop dan meneruskan imajinasinya. Waktu
pun tak dapat ia kendalikan. Terdengar kembali suara yang sama dari ponselnya.
Ia buka sms itu. “Bagaimana?” sms dari Niko mencari kepastian Budi. Ia
berpikir. Akhirnya ia menemukan jawaban itu. Ia balas sms dari sahabatnya itu.
“Oke aku ikut”. Jawaban singkat itulah yang akhirnya muncul. Dia tak tahu, dari
mana datangnya jawaban itu. Tapi yang jelas, mungkin inilah salah satu bentuk
tindakan yang bisa ia lakukan untuk membalas kebaikan para sahabat-sahabatnya
itu. Walau ia tahu, bahwa hal itu sangat bertolak belakang dengan dirinya
sendiri. Dan kembali lagi ia dapati kenyataan yang menyakitkan. Di mana sering
sekali bahwa idealisme sangat bertentangan dengan realita. Ironis.
Jam
pun telah menunjuk ke arah jam 7. Setelah sholat isya’ Budi pun bersiap untuk
memenuhi ajakan sahabat-sahabatnya tadi sore.
BEK130592
Tidak ada komentar:
Posting Komentar