Translate

Kamis, 03 Januari 2013

Cethe Tulungagung

“CETHE TULUNGAGUNG”
Mengelilingi Kota Tulungagung, mungkin kita akan selalu disuguhi bentangan persawahan yang merupakan sumber pencaharian mayoritas masyarakat Tulungagung, dan pegunungan yang menjulang ke langit yang selalu tampak di segala penjuru. Di samping itu, kita juga akan disuguhi pesona pantai yang elok nan indah di setiap pesisir selatan Tulungagung. Belum lagi adat dan budaya lain yang ada di Tulungagung. Imajinasi kita tak akan putus ketika membayangkan betapa indahnya Kota Bersinar Tulungagung. Tapi, jika kita cermati secara seksama di antara keindahan alam Tulungagung, mungkin kita akan menemukan pemandangan aneh nan elok di setiap hamparan jalanan Tulungagung ataupun di setiap sudut kota maupun pedesaan. Di sana kita dapat melihat kerumunan warung yang menyediakan seduhan kopi, itulah warung kopi khas Tulungagung.
Warung kopi merupakan fenomena tersendiri di kalangan masyarakat Tulungagung. Selain sejarah dan adat/budaya yang menghiasinya, juga tak lepas dari pro-kontra keberadaannya. Memang banyak masyarakat yang menggandrungi warung kopi. Mereka berkumpul membentuk suatu komunitas dalam bingkai warung kopi. Tapi tak sedikit pula yang memberikan stigma negatif terhadap warung kopi. Mayoritas mereka beranggapan bahwa warung kopi adalah tempat maksiat, membuang waktu, dan ajang pemborosan. Tapi, jika kita telaah lebih dalam, pendapat yang kontra tersebut dapat tak selamanya benar. Banyak sekali aktivitas-aktivitas positif yang berlangsung di warung kopi. Semisal, tak jarang para pelajar dan mahasiswa berdiskusi membicarakan kegiatan belajar mereka di warung kopi. Para makelar, mereka sering bernegosiasi di warung kopi. Selain itu, warung kopi merupakan ajang penyaji lapangan pekerjaan bagi para pengangguran. Tak sedikit pula, kita temukan komunitas-komunitas sosial lahir dari warung kopi.
Terlepas dari semua hal di atas, sebenarnya penilaian tentang warung kopi tergantung kepada kita sendiri. Kita menilai secara pragmatis ataukah kita nilai secara bijak? Untuk itu saya paparkan mengenai sejarah dan keadaan warung kopi, seperti di bawah ini.
Istilah warung kopi identik dengan tempat menjual kopi, sedangkan ngopi adalah ajakan ke warung untuk menikmati segelas kopi. Istilah warung kopi dan ngopi sebenarnya sudah ada sejak dahulu. Sejak jaman Belanda. Jadi istilah tersebut sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat Tulungagung. Maka tak aneh, kalau saat ini istilah tersebut sudah sangat familiar di kalangan masyarakat Tulungagung. Jika kita melewati atau mampir ke Tulungagung, tak sulit bagi kita menemukan warung kopi. Dan tentunya sudah diberi sentuhan modern dengan penambahan menu selain kopi.
Tak ada yang mengetahui secara pasti, kapan warung kopi mulai muncul, dan kapan pula kopi mulai diperdagangkan. Tapi, menurut beberapa pendapat, asal warung kopi adalah kebiasaan para petani sehabis bekerja, lalu berkumpul di warung sambil minum kopi untuk melepas lelah dan berdiskusi mengenai tanaman mereka. Memang tak ada yang berani atau berhasil menjelaskan secara pasti, kapan warung kopi mulai muncul. Para ahli sejarah dan budayawan di Tulungagung sepakat bahwa warung, khususnya warung kopi, adalah warisan turun temurun leluhur.
Jika kita membicarakan tentang warung kopi dan ngopi, maka tak boleh ketinggalan, kita juga harus mencantumkan cethe di dalamnya. Cethe adalah sebutan ampas/limbah seduhan kopi, yang dimanfaatkan perokok untuk menambah aroma dan sensasi pada rokok. Dan kegiatan mengoles-oleskan limbah kopi di atas sebatang rokok dengan berbagai cara dan tampilan dinamakan nyethe. Menurut beberapa ahli, orang yang pertama mencetuskan dan memperkenalkan cethe atau nyethe ke khalayak ramai adalah seorang santri pondok pesantren di daerah Kalangbret, Tulungagung. Alasan santri itu adalah agar rokoknya bisa awet. Ini dikarenakan keadaan ekonomi santri ponpes yang pas-pasan (maklum santri adalah kaum yang terdidik dalam kesederhanaan). Santri-santri mempunyai rokok yang terbatas, untuk menyiasati keterbatasan ini, mereka mengoleskan limbah kopi (cethe) di atas batang rokok mereka. Awalnya kopi yang mereka gunakan kala itu adalah kopi kasar (atau masyarakat menyebutnya kopi dep, yaitu kopi yang dihaluskan dengan ditumbuk menggunakan kayu). Berbeda dengan sekarang, kopi yang dipakai untuk nyethe adalah kopi halus, karena sekarag sudah ada mesin, jadi kopi bisa ditumbuk sehalus mungkin dengan mesin tersebut.
Kegiatan nyethe telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Mulai dari bahan baku, yang mulanya hanya berasal dari limbah kopi saja, kini bahan baku cethe telah dicampuri dengan susu, agar menghasilkan aroma dan sensasi yang lebih nikmat. Selain itu, agar pola olesan pada rokok lebih mudah kita bentuk. Begitu pula dengan fungsi nyethe itu sendiri. Kalau dulu nyethe hanya sebagai sarana agar rokok awet, sehingga kita bisa hidup hemat, sekarang nyethe sudah dianggap sebagai kegiatan seni layaknya melukis. Melalui nyethe dapat kita temukan pola-pola unik pada batang rokok, tergantung kretivitas para pe-nyethe itu sendiri. Di mana pada sebatang rokok bisa kita temukan gambar-gambar yang unik, mulai dari gambar batik, tulisan nama, olesan cethe yang merata pada batang rokok, hingga gambar tak beraturan yang menempel di atas rokok. Nyethe memang berkembang menjadi seni bernilai tinggi pada saat ini.
Inilah cethe, budaya khas Tulungagung. Betapa tidak, ketika saya bertemu dengan kawan-kawan SMA saya, yang kini menempuh ilmu di Perguruan Tinggi di luar Tulungagung, mereka selalu memiliki kesan yang sama. “Kangen kopinya Mak Tin dan Waris.” Iya, Waris dan Mak Tin adalah nama warung kopi terkenal dan merupakan warung kopi pelopor di era milenium ini yang terkenal dengan sebutan “kopi ijonya” (bahasa indonesia: kopi hijau). Warung kopi yang terletak di Bolorejo, Kauman, Tulungagung, ini selalu digandrungi oleh masyarakat luas tiap harinya. Melihat pernyataan teman-teman saya tersebut, saya kemudian mengajukan pertanyaan kepada teman-teman saya yang kuliah di Malang, Surabaya, Jember, Kediri, Jawa Tengah, dan lain-lain. Saya bertanya kepada mereka, bagaimana kopi di daerah perantauanmu dan apakah ada aktivitas nyethe di sana. Dan semua jawaban sama, tidak ada kopi dan aktivitas cethe seperti Tulungagung. Justru mereka menambahkan kalau daya tarik mereka pulang ke Tulungagung setiap satu minggu atau dua minggu sekali, adalah kopi khas Tulungagung dan cethenya. Tak hanya dari kalangan mahasiswa perantau saja. Bahkan para TKI yang berada di luar negeri sering mereka bercanda rindu akan kopi khas Tulungagung beserta cethenya. Yang lebih menggelikan lagi adalah candaan para mahasiswa luar kota yang kuliah di Tulungagung. Mereka seakan-akan membuat semboyan, “kuliah di Tulungagung itu yang dijadikan patokan adalah cethe dan kopi ijo. Ketika kita sudah bisa nyethe dengan bagus, dan menikmati kopi ijo, maka kita sudah berhasil kuliah di Tulungagung.” Candaan yang lucu, tapi memang benar, karena mereka juga mengakui bahwasannya aktivitas nyethe baru mereka jumpai ketika mereka menginjakkan kakinya di Tulungagung. Dan kopi ijo pun baru mereka kenal ketika berada di Tulungagung.
Seperti yang sudah saya singgung di atas, bahwa cethe telah mengalami perkembangan yang luar biasa. Begitu juga dengan warung kopinya. Kalau dulu, warung kopi hanya menjual kopi dan beberapa makanan kecil, sekarang warung kopi sudah lebih modern, tak hanya kopi, bahkan minuman-minuman dan makanan ala modern pun tak jarang kita temukan di warung kopi sepanjang Tulungagung. Bahkan, ada warung kopi yang menyediakan hotspot/wi-fi bagi para pengunjung. Tak hanya dari segi tampilan, dari segi fungsi pun warung kopi dan cethenya juga telah mengalami metamorfosis yang menakjubkan. Kalau dulu warung kopi hanya sebagai tempat istirahat sementara bagi para petani usai dari sawah, kini warung kopi menjadi tempat yang multifungsi. Hampir semua aspek dalam kehidupan, termuat dalam satu skema bernama warung kopi. Dari segi ekonomi, tentu pemilik warung kopi akan menghasilkan keuntungan yang luar biasa dari aktivitas ngopi dan nyethe yang dilakukan pengunjungnya. Warung kopi juga tempat untuk bersosialisasi satu sama lain. Tempat mempererat persaudaraan antara sesama. Di samping itu, warung kopi merupakan tempat yang tidak salah kita pakai dalam hal perundingan bisnis antar individu. Banyak juga para pengunjung warung kopi, yang mengaku bahwa mereka ngopi dan nyethe untuk menyegarkan pikiran mereka yang stress ataupun sedang galau. Selain itu, ngopi juga dapat kita manfaatkan sebagai sarana mengembangkan kreativitas kita dan berkreasi sesuai ekspresi kita, yaitu dengan cara nyethe. Seperti yang saya singgung di atas, bahwa nyethe awalnya hanya sebagai alat agar rokoknya awet, tapi sekarang nyethe tidak hanya agar rokok awet, tetapi mayoritas cethe adalah sebagai sarana mengekspresikan diri. Mereka menggambar di atas rokok mereka sesuai keadaan jiwa dan seni mereka. Bahkan, hampir setiap tahun diadakan kompetisi nyethe di Tulungagung. Selain itu, ketika ada pertandingan sepakbola, pemilik warung kopi tak ketinggalan mengadakan acara nonton bareng. Jadi, warung kopi dan cethe di era modern ini bukan hanya sebatas tradisi leluhur, tapi juga sebagai seni dan bisnis.
Namun, ketika dipaparkan mengenai sisi menarik dari warung kopi, muncul sebuah pertanyaan. Lalu kenapa sampai sekarang potensi tersebut tidak bisa berkembang secara nasional, minimal?? Tentu ketika kita berbicara realita yang bersimpangan dengan idealis, maka kita tidak boleh serta merta menyalahkan satu oknum atau mencari kambing hitam. Yang patut kita lakukan adalah menyalahkan diri kita sendiri. Sejauh mana kita mengembangkan potensi itu? Baik dari segi bisnisnya, sosialnya, ataupun seninya. Memang sesuatu yang cukup disayangkan. Potensi besar tanpa pengembangan yang besar pula. Padahal, jika kita lihat lebih dalam, warung kopi mampu menciptakan lapangan kerja bagi orang-orang sekitarnya, dan juga mampu membangkitkan ekonomi masyarakat Tulungagung. Jika warung kopi terus dikembangkan secara optimal, maka otomatis kita dapat mengurangi TKI yang mengais rupiah di luar negeri. Apalagi Tulungagung terkenal sebagai salah satu pengekspor TKI tertinggi. Seharusnya Pemda Tulungagung lebih serius dalam mengembangkan warung kopi ini.
Menangkap dari penjabaran-penjabaran di atas, sudah seharusnya Pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Tulungagung, mengupayakan berbagai tindakan guna pemberdayaan potensi yang ada pada warung kopi. Pemerintah harus bisa menjadikan warung-warung kopi yang kecil/pinggiran menjadi warung kopi yang lebih layak dan dilindungi dengan peratutan perundang-undangan yang berlaku. Bukan malah mengkerdilkan kreativitas yang produktif dan inovatif yang telah mereka miliki. Pemerintah harus bertindak nyata, agar kenyamanan para pegiat kopi dalam segala aspek bisa dinikmati secara utuh. Dalam kaitannya dengan ini, sebenarnya pemerintah secara konseptual telah membuat Undang-Undang tentang Usaha Mikro Kecil dan Menengah. Di mana warung kopi termasuk di dalamnya (UMKM). Dan sekarang tinggal bagaimana kita menerapkannya secara kontekstual. Tapi yang jelas, warung kopi beserta cethe Tulungagung adalah adat yang berpotensi bisnis besar. Mari kita sama-sama bergerak mengembangkan potensi yang luar biasa ini. Agar pengangguran dapat kita kurangi dan kita bisa optimal dalam melukis rokok dengan cethe serta mengembangkan kreatifitas kita.
“Warung kopi dan nyethe khas Tulungagung, selain sebagai adat, juga sebagai sejarah bangsa kita. Di mana segala aspek kehidupan, mulai dari aspek psikologi, sosial, budaya, seni, ekonomi, dan lain-lain, semuanya berbaur di sana. Sehingga tak heran warung kopi dan cethe khas Tulungagung merupakan potensi bisnis yang menjanjikan. Tergantung bagaimana kita bisa memanfaatkan dan mengembangkan potensi itu, demi masyarakat pribumi kita. Otomatis kita harus bertindak sekarang. Detik ini.”

2 komentar:

  1. Artikel ente bagus sob,gue baca tiap hari. Kalu butuh motor honda area tulunggagung,kediri,trenggalek hubungi gus si kecil gan... Kunjungi www.guskecil.top

    BalasHapus