Sore
ini masih seperti sore sebelumnya. Gerombolan kelelawar yang terbang hendak
mencari makan, langit barat yang menampakkan cahaya merah, dan udara peralihan
dari panas ke dingin yang sedikit mengagetkan kulit. Namun, aku tak sama dengan
sore. Hari ini aku melakukan sesuatu hal yang tak biasa aku lakukan di setiap
sore sebelumnya. Aku ingin mengitari kota ini. Menyusuri sendirian indahnya
jalanan kota ditemani cahaya terang sang mega merah. Memang besok bukanlah
akhir pekan. Besok juga bukan hari libur untuk kuliahku. Namun, setidaknya aku
bisa sedikit bersantai malam ini. Karena semua tugas kuliah yang biasanya
selalu menjadi teman kencanku, hari ini telah aku selesaikan semuanya. Tak ada
yang tersisa. Jadi, secara otomatis sore ini adalah waktu di mana aku
melampiaskan rasa kesalku terhadap tugas kuliah, dengan cara menikmati jalanan
kota di tengah pekan. Tak ada yang menemaniku. Memang aku sengaja pergi
sendiri.
Tak
ada yang menarik. Masih sama seperti biasa. Baik akhir pekan maupun tengah
pekan, ternyata sama saja. Jalan di kota ini selalu saja ramai. Semua orang
dari semua lapisan dan golongan masyarakat melintasi jalanan kota ini. Mereka
saling berinteraksi dengan klakson dan asap kendaraan mereka. Penuh sesak mata
memandang. Walaupun sebenarnya aku tak merasakan kesesakan itu. Tak ada yang
istimewa maupun yang mengejutkan sore ini. Namun, aku juga tak tahu rasanya
sore ini adalah hari yang istimewa bagiku. Entah karena aku sudah terbebas dari
penjara tugas kuliah atau karena fenomena langka: jalan-jalan santai
mengelilingi kota di tengah pekan. Iya, bagiku jalan-jalan santai di tengah
pekan adalah fenomena langka dan layak masuk rekor MURI, karena semenjak aku
datang dan aktif masuk kuliah di kota ini, tak pernah sekalipun aku merasakan
nikmatnya jalan-jalan santai di tengah pekan.
Aku
masih berjalan. Ku ikuti ke mana kaki ini melangkahkan tulangnya. Cahaya langit
sore yang semakin memerah nan gelap, kendaraan yang saling berlomba membunyikan
klakson, serta kelelawar yang sudah tak nampak lagi adalah teman dan saksi bisu
perjalanan dan kebahagiaan jiwa ragaku sore ini. Sudah tak mampu lagi aku
menahan jiwa dan ragaku untuk melangkah menuju tujuan yang mereka cari.
Hingga
aku melihat sesuatu yang memaksa langkahku berhenti. Sesuatu yang semakin
membuat kebahagiaan sore ini semakin menarik. Aku melihat seorang wanita
seumuran denganku. Dia duduk di depan toko buku. Seratus meter dari tempat di
mana aku berdiri sekarang. Sejenak aku pandangi ia dari tempatku. Ia pun masih
asyik dengan lembaran buku di tangannya. Indera ini sepertinya tak mau
dibohongi. Sepertinya aku tak asing dengan wanita itu. Rasanya aku sudah kenal
dekat dengannya. Aku berjalan pelan, aku dekati dia. Ternyata benar. Dia adalah
Devi. Teman satu SMA saya. Memang kami tak pacaran baik sekarang maupun dulu.
Namun, dia adalah orang istimewa. Wanita yang selalu mendapat tempat
teristimewa. Setidaknya di hatiku. Iya, aku akui aku memang dekat dengannya.
Aku hampiri dan aku sapa dia.
“Devi…kamu
masih lucu nan menarik ya!!” Spontan aku mengeluarkan kata-kata yang tak pernah
kurancang sebelumnya. Aku pun sedikit malu menyadari apa yang telah aku
ucapkan.
“Hai…terimakasih..
Bagaimana kabar kamu?” Dengan sedikit kaget dia balik bertanya kepadaku.
Disertai dengan suatu hal yang tak pernah ia lalaikan. Senyuman indah yang
keluar dari bibir kecil nan tipis itu. Senyuman yang selalu aku rindukan di
setiap waktu.
“Baik.
Kamu bagaimana?” Aku mengambil posisi duduk di sebelah kanan Devi. Sambil aku
perhatikan buku yang ia baca. Buku kumpulan motivasi ternyata.
“Baik.”
Jawab Devi singkat. Sepertinya dia masih agak kaget dan tak percaya.
Wajar
saja. Sudah hampir satu tahun sejak lebaran tahun kemarin, kami belum pernah
bertemu secara langsung. Dan ini juga pertemuan pertama kami di kota ini.
Walaupun sudah satu tahun lebih kami kuliah di kota yang sama, kami tak pernah
bertemu. Maklum, kampus kami berjauhan. Sangat jauh. Sama seperti keadaan hati
kami sekarang. Meskipun dulu kami pernah dekat. Sangat dekat. Cukup lama kami
hanya terdiam sambil melempar senyuman satu sama lain. Entah apa yang ia
pikirkan. Dan akupun juga tak tahu dengan apa yang aku pikirkan. Hening. Walau
sebenarnya suara kendaraan tak henti menyambar telinga kami berdua. Aku
beranikan untuk memecah keheningan ini.
“Kamu
kenapa ada di sini? Tak kusangka kita bisa bertemu di tepi jalan seperti ini.”
Dalam hati aku masih bingung mencerna kata-kata yang baru saja aku lontarkan.
“Oh..
Tidak ada apa-apa. Hanya kebetulan saja aku di sini. Besok aku tidak ada kuliah,
jadi hari ini aku keliling kota sambil mencari buku ini. Dan ternyata toko ini
yang punya.” Devi tersenyum sambil menunjukkan buku yang ia beli di toko itu.
Buku kumpulan motivasi dari para motivator se-Indonesia. Dan tak sengaja aku
lihat motor yang sejak setahun lalu menemani Devi terparkir di halaman toko.
“Memang
motivator yang ada di buku itu orang hebat semua. Namun, kalau menurutku hanya
ada satu motivator yang paling hebat di dunia ini. Yaitu diri kita sendiri.”
“Benar.
Aku sangat setuju dengan pendapatmu. Tuhan tak akan merubah nasib kita, jika
kita tak mengubahnya sendiri. Benarkan?”
“Tepat
sekali.” Jawabku singkat sambil aku lontarkan senyuman kepadanya.
“Namun,
segala sesuatu itu terdiri dari dua faktor. Internal dan eksternal. Tak
terkecuali motivasi. Motivasi bisa kita dapatkan dari diri kita sendiri. Dan
bisa juga kita dapatkan dari sekitar kita, semisal dari buku ini.” Aku
terkesima dengan pernyataan Devi. Pernyataan yang diplomatis yang diiringi
senyuman menawan. Semakin menginterpretasikan bahwa dia adalah salah satu
wanita sempurna.
Sejenak
aku terdiam. Aku berpikir: pertanyaan atau pernyataan apa yang harus aku
keluarkan? Atau aku balas saja dengan senyuman? Belum aku mendapat jawaban dari
pertanyaan itu, inderaku sudah menangkap suara yang kembali ia lemparkan.
“Ngomong-ngomong
kamu sendiri kok bisa ada di sini?”
“Tidak.
Aku tadi hanya jalan-jalan saja. Cari inspirasi untuk menulis puisi baru.” Aku
tersenyum sambil aku tunjukkan blocnote yang sejak tadi menghuni saku jaket.
“Oh..
Sudah dapat inspirasinya?”
“Sebenarnya
inspirasi tak usah dicari. Ia akan datang sendiri ketika kita menulis. Hanya
butuh momen yang tepat saja.”
“Selalu.
Orang yang suka menulis, selalu sok puitis dalam bicara.” Kami tertawa
tebahak-bahak. Entah siapa yang lebih dulu memulai tertawa.
“Sebenarnya
aku mau membuat puisi ucapan ulang tahun untuk seseorang. Namun, aku tak
mengerti, rasanya hati dan logika ini tak mau diajak menulis. Inspirasi dan
imajinasi seakan pergi mengembara meninggalkan jiwa raga ini.”
“Wah
mulai lagi sok puitis.” Tawa kembali pecah di antara kami. “Ehm.. Sebenarnya
kamu membuat puisi untuk siapa? Pacar kamu?” Devi meneruskan perkataannya.
“Bukan.
Untuk orang yang begitu berharga bagiku. Motivator ulung bagi jiwa raga ini.”
“Oh..
Kamu belikan saja ia barang atau sesuatu yang mungkin ia sangat sukai.”
“Tidak.
Aku tak ingin membelikannya barang. Aku ingin memberinya hadiah berupa karya.
Karya dari hati. Dan nuraniku mengatakan puisi adalah hadiah yang paling
tepat.”
“Wah..
sungguh beruntungnya orang itu.” Kami sama-sama tersenyum.
“Tapi
ngomong-nomong, apakah kamu mau membantuku? Membuatkan puisi sebagai hadiah
ulang tahunnya?”
“Lho!
Kenapa harus aku? Kan lebih baik kamu sendiri yang membuatnya. Hadiah dari
hati. Dari hatimu sendiri.”
“Memang
benar. Tetapi, hatiku sepertinya tak mau membantuku hari ini. Aku harap hatimu
mau membantuku.”
“Aku
kan tidak tahu mengenai orang itu.”
Aku
tak bereaksi. Heningpun tercipta untuk kedua kalinya. Kami sama-sama diam dan
seolah-olah saling berpikir menemukan solusi.
“Atau
begini saja. Di dalam buku ini ada beberapa puisi yang menurutku sangat indah
dan saya rasa cukup tepat jika diberikan kepada orang yang istimewa. Bagaimana
jika kamu mencontoh dari buku ini saja. Lagipula menurutku puisi ini juga
dibuat dengan hati yang terdalam.” Devi melanjutkan perkataannya dengan
memberikan solusi dan saran kepadaku.
“Baiklah.
Cukup menarik saranmu. Kalau begitu kamu yang menulisnya ya?” Aku menyodorkan
blocnote beserta pulpen yang sejak tadi aku genggam kepada dia.
“Lho!
Kenapa aku?” Devi kaget. Dan aku hanya tersenyum. Namun, senyuman kali ini
adalah senyuman paksaan agar dia mau menuliskan puisi itu.
“Kamu
ini aneh ya! Tadi kamu bilang kamu ingin memberi hadiah puisi kepada seseorang,
namun justru aku yang kau suruh menuliskan puisinya.”
“Tidak
apa-apa. Apakah kamu tak ingin membantuku? Hanya sekedar menyalin puisi.”
“Bukannya
begitu. Tetapi, akan lebih sempurna jika kau sendiri yang menulisnya. Atau
malah puisi itu kamu sendiri yang membuatnya.”
Sepertinya
Devi memang benar-benar tak mau menuliskan puisi itu. Aku tak tahu, apa alasan
yang memenjarakan dirinya sehingga tak mau membantuku. Apakah dia ingin aku
membuat karya sendiri untuk hadiah puisi itu atau dia memang tak mau terlibat
dengan kebahagiaan yang baru saja aku peroleh, walau hanya kebahagiaan semu.
Aku tak mau berspekulasi. Yang aku tahu, dia bukanlah orang yang tak mau
menolong sesama, namun dia adalah orang yang selalu memberikan pelajaran secara
tersirat maupun tersurat kepada lawan bicaranya.
“Baiklah
kalau begitu. Aku akan menulis sendiri puisi itu. Puisi dari hatiku sendiri.
Kamu tahu, siapa penerima puisi itu? Orang yang kamu sebut beruntung tadi
adalah aku sendiri. Puisi itu akan kuberikan kepada diriku sendiri. Dari aku
dan untuk aku.”
“Apa
maksutmu? Aku tak mengerti. Jangan sok puitis kamu!” Kali ini dia sangat
serius. Bahkan dari tatap matanya, bisa aku simpulkan kalau dia agak jengkel
atau bahkan marah dengan kalimatku tadi.
“Besok
adalah hari ulang tahunku. Aku melakukan perjalanan ini hanya untuk mencari
inspirasi baru demi sebuah hadiah untuk aku sendiri. Namun, hati dan logikaku
sepertinya menjauh. Mereka tak mau memberiku hadiah ulang tahun. Bahkan, orang
yang selama ini cukup dekat dan istimewa di hatiku pun, juga tak mau memberiku hadiah.
Walau itu hanya sebatas menuliskan puisi.”
Aku
bangun dari tempat dudukku. Sambil tersenyum aku pandang Devi dengan tajam. Ia
masih tak percaya dengan semuanya. Entah apa yang ia pikirkan. Sepertinya ia
mau bicara, namun terhalang oleh tembok kokoh yang menghentikan kata-katanya.
“Semoga
kita bisa berjumpa lagi. Sukses buat kamu.” Aku pergi dari tempat itu. Berjalan
membelakangi pandangannya.
Lirih
terdengar suara dari belakang. Mungkin itu suara Devi. Namun, aku tak mendengar
pasti, suara itu melebur dengan jeritan kendaraan yang sejak tadi lalu lalang
di jalanan ini. Akupun juga semakin tak mengerti. Dalam beberapa menit yang
lalu aku merasakan kesenangan dan kenikmatan yang nyaris sempurna: jalan-jalan
tengah pekan tanpa secuil tanggungan tugas kuliah dan bertemu dengan yang
teristimewa. Namun, semua itu bertransformasi dengan cepat hanya dalam hitungan
detik. Semua menjadi kepedihan dan kekecewaan. Baru aku menyadari, bahwa di
dunia ini tak ada yang benar-benar sempurna dan semuanya serba sementara, tak
ada yang mutlak maupun abadi. Semuanya hanya bayang semu. Layaknya dia: selalu
mendapat tempat teristimewa di hati ini, namun tak mampu memberikan yang
teristimewa pula untuk hati ini. Walaupun sudah aku pinta.
Hari
ini memang tak aku dapatkan sebuah puisi dari hati yang teristimewa, untuk
ulang tahunku besok. Tetapi, aku mendapat karya dari hati yang lain, yaitu dari
hatiku. Iya, inilah hadiahku, inilah puisi dari hati. Semua ini adalah puisi
dari hati. Puisi dari hatiku, bukan darinya. Puisi untuk aku, bukan untuk dia.
BEK130592
Tidak ada komentar:
Posting Komentar