Translate

Jumat, 16 Agustus 2013

PUISIKU, BUKAN UNTUK DIA…!!!



Sore ini masih seperti sore sebelumnya. Gerombolan kelelawar yang terbang hendak mencari makan, langit barat yang menampakkan cahaya merah, dan udara peralihan dari panas ke dingin yang sedikit mengagetkan kulit. Namun, aku tak sama dengan sore. Hari ini aku melakukan sesuatu hal yang tak biasa aku lakukan di setiap sore sebelumnya. Aku ingin mengitari kota ini. Menyusuri sendirian indahnya jalanan kota ditemani cahaya terang sang mega merah. Memang besok bukanlah akhir pekan. Besok juga bukan hari libur untuk kuliahku. Namun, setidaknya aku bisa sedikit bersantai malam ini. Karena semua tugas kuliah yang biasanya selalu menjadi teman kencanku, hari ini telah aku selesaikan semuanya. Tak ada yang tersisa. Jadi, secara otomatis sore ini adalah waktu di mana aku melampiaskan rasa kesalku terhadap tugas kuliah, dengan cara menikmati jalanan kota di tengah pekan. Tak ada yang menemaniku. Memang aku sengaja pergi sendiri.
Tak ada yang menarik. Masih sama seperti biasa. Baik akhir pekan maupun tengah pekan, ternyata sama saja. Jalan di kota ini selalu saja ramai. Semua orang dari semua lapisan dan golongan masyarakat melintasi jalanan kota ini. Mereka saling berinteraksi dengan klakson dan asap kendaraan mereka. Penuh sesak mata memandang. Walaupun sebenarnya aku tak merasakan kesesakan itu. Tak ada yang istimewa maupun yang mengejutkan sore ini. Namun, aku juga tak tahu rasanya sore ini adalah hari yang istimewa bagiku. Entah karena aku sudah terbebas dari penjara tugas kuliah atau karena fenomena langka: jalan-jalan santai mengelilingi kota di tengah pekan. Iya, bagiku jalan-jalan santai di tengah pekan adalah fenomena langka dan layak masuk rekor MURI, karena semenjak aku datang dan aktif masuk kuliah di kota ini, tak pernah sekalipun aku merasakan nikmatnya jalan-jalan santai di tengah pekan.
Aku masih berjalan. Ku ikuti ke mana kaki ini melangkahkan tulangnya. Cahaya langit sore yang semakin memerah nan gelap, kendaraan yang saling berlomba membunyikan klakson, serta kelelawar yang sudah tak nampak lagi adalah teman dan saksi bisu perjalanan dan kebahagiaan jiwa ragaku sore ini. Sudah tak mampu lagi aku menahan jiwa dan ragaku untuk melangkah menuju tujuan yang mereka cari.
Hingga aku melihat sesuatu yang memaksa langkahku berhenti. Sesuatu yang semakin membuat kebahagiaan sore ini semakin menarik. Aku melihat seorang wanita seumuran denganku. Dia duduk di depan toko buku. Seratus meter dari tempat di mana aku berdiri sekarang. Sejenak aku pandangi ia dari tempatku. Ia pun masih asyik dengan lembaran buku di tangannya. Indera ini sepertinya tak mau dibohongi. Sepertinya aku tak asing dengan wanita itu. Rasanya aku sudah kenal dekat dengannya. Aku berjalan pelan, aku dekati dia. Ternyata benar. Dia adalah Devi. Teman satu SMA saya. Memang kami tak pacaran baik sekarang maupun dulu. Namun, dia adalah orang istimewa. Wanita yang selalu mendapat tempat teristimewa. Setidaknya di hatiku. Iya, aku akui aku memang dekat dengannya. Aku hampiri dan aku sapa dia.
“Devi…kamu masih lucu nan menarik ya!!” Spontan aku mengeluarkan kata-kata yang tak pernah kurancang sebelumnya. Aku pun sedikit malu menyadari apa yang telah aku ucapkan.
“Hai…terimakasih.. Bagaimana kabar kamu?” Dengan sedikit kaget dia balik bertanya kepadaku. Disertai dengan suatu hal yang tak pernah ia lalaikan. Senyuman indah yang keluar dari bibir kecil nan tipis itu. Senyuman yang selalu aku rindukan di setiap waktu.
“Baik. Kamu bagaimana?” Aku mengambil posisi duduk di sebelah kanan Devi. Sambil aku perhatikan buku yang ia baca. Buku kumpulan motivasi ternyata.
“Baik.” Jawab Devi singkat. Sepertinya dia masih agak kaget dan tak percaya.
Wajar saja. Sudah hampir satu tahun sejak lebaran tahun kemarin, kami belum pernah bertemu secara langsung. Dan ini juga pertemuan pertama kami di kota ini. Walaupun sudah satu tahun lebih kami kuliah di kota yang sama, kami tak pernah bertemu. Maklum, kampus kami berjauhan. Sangat jauh. Sama seperti keadaan hati kami sekarang. Meskipun dulu kami pernah dekat. Sangat dekat. Cukup lama kami hanya terdiam sambil melempar senyuman satu sama lain. Entah apa yang ia pikirkan. Dan akupun juga tak tahu dengan apa yang aku pikirkan. Hening. Walau sebenarnya suara kendaraan tak henti menyambar telinga kami berdua. Aku beranikan untuk memecah keheningan ini.
“Kamu kenapa ada di sini? Tak kusangka kita bisa bertemu di tepi jalan seperti ini.” Dalam hati aku masih bingung mencerna kata-kata yang baru saja aku lontarkan.
“Oh.. Tidak ada apa-apa. Hanya kebetulan saja aku di sini. Besok aku tidak ada kuliah, jadi hari ini aku keliling kota sambil mencari buku ini. Dan ternyata toko ini yang punya.” Devi tersenyum sambil menunjukkan buku yang ia beli di toko itu. Buku kumpulan motivasi dari para motivator se-Indonesia. Dan tak sengaja aku lihat motor yang sejak setahun lalu menemani Devi terparkir di halaman toko.
“Memang motivator yang ada di buku itu orang hebat semua. Namun, kalau menurutku hanya ada satu motivator yang paling hebat di dunia ini. Yaitu diri kita sendiri.”
“Benar. Aku sangat setuju dengan pendapatmu. Tuhan tak akan merubah nasib kita, jika kita tak mengubahnya sendiri. Benarkan?”
“Tepat sekali.” Jawabku singkat sambil aku lontarkan senyuman kepadanya.
“Namun, segala sesuatu itu terdiri dari dua faktor. Internal dan eksternal. Tak terkecuali motivasi. Motivasi bisa kita dapatkan dari diri kita sendiri. Dan bisa juga kita dapatkan dari sekitar kita, semisal dari buku ini.” Aku terkesima dengan pernyataan Devi. Pernyataan yang diplomatis yang diiringi senyuman menawan. Semakin menginterpretasikan bahwa dia adalah salah satu wanita sempurna.
Sejenak aku terdiam. Aku berpikir: pertanyaan atau pernyataan apa yang harus aku keluarkan? Atau aku balas saja dengan senyuman? Belum aku mendapat jawaban dari pertanyaan itu, inderaku sudah menangkap suara yang kembali ia lemparkan.
“Ngomong-ngomong kamu sendiri kok bisa ada di sini?”
“Tidak. Aku tadi hanya jalan-jalan saja. Cari inspirasi untuk menulis puisi baru.” Aku tersenyum sambil aku tunjukkan blocnote yang sejak tadi menghuni saku jaket.
“Oh.. Sudah dapat inspirasinya?”
“Sebenarnya inspirasi tak usah dicari. Ia akan datang sendiri ketika kita menulis. Hanya butuh momen yang tepat saja.”
“Selalu. Orang yang suka menulis, selalu sok puitis dalam bicara.” Kami tertawa tebahak-bahak. Entah siapa yang lebih dulu memulai tertawa.
“Sebenarnya aku mau membuat puisi ucapan ulang tahun untuk seseorang. Namun, aku tak mengerti, rasanya hati dan logika ini tak mau diajak menulis. Inspirasi dan imajinasi seakan pergi mengembara meninggalkan jiwa raga ini.”
“Wah mulai lagi sok puitis.” Tawa kembali pecah di antara kami. “Ehm.. Sebenarnya kamu membuat puisi untuk siapa? Pacar kamu?” Devi meneruskan perkataannya.
“Bukan. Untuk orang yang begitu berharga bagiku. Motivator ulung bagi jiwa raga ini.”
“Oh.. Kamu belikan saja ia barang atau sesuatu yang mungkin ia sangat sukai.”
“Tidak. Aku tak ingin membelikannya barang. Aku ingin memberinya hadiah berupa karya. Karya dari hati. Dan nuraniku mengatakan puisi adalah hadiah yang paling tepat.”
“Wah.. sungguh beruntungnya orang itu.” Kami sama-sama tersenyum.
“Tapi ngomong-nomong, apakah kamu mau membantuku? Membuatkan puisi sebagai hadiah ulang tahunnya?”
“Lho! Kenapa harus aku? Kan lebih baik kamu sendiri yang membuatnya. Hadiah dari hati. Dari hatimu sendiri.”
“Memang benar. Tetapi, hatiku sepertinya tak mau membantuku hari ini. Aku harap hatimu mau membantuku.”
“Aku kan tidak tahu mengenai orang itu.”
Aku tak bereaksi. Heningpun tercipta untuk kedua kalinya. Kami sama-sama diam dan seolah-olah saling berpikir menemukan solusi.
“Atau begini saja. Di dalam buku ini ada beberapa puisi yang menurutku sangat indah dan saya rasa cukup tepat jika diberikan kepada orang yang istimewa. Bagaimana jika kamu mencontoh dari buku ini saja. Lagipula menurutku puisi ini juga dibuat dengan hati yang terdalam.” Devi melanjutkan perkataannya dengan memberikan solusi dan saran kepadaku.
“Baiklah. Cukup menarik saranmu. Kalau begitu kamu yang menulisnya ya?” Aku menyodorkan blocnote beserta pulpen yang sejak tadi aku genggam kepada dia.
“Lho! Kenapa aku?” Devi kaget. Dan aku hanya tersenyum. Namun, senyuman kali ini adalah senyuman paksaan agar dia mau menuliskan puisi itu.
“Kamu ini aneh ya! Tadi kamu bilang kamu ingin memberi hadiah puisi kepada seseorang, namun justru aku yang kau suruh menuliskan puisinya.”
“Tidak apa-apa. Apakah kamu tak ingin membantuku? Hanya sekedar menyalin puisi.”
“Bukannya begitu. Tetapi, akan lebih sempurna jika kau sendiri yang menulisnya. Atau malah puisi itu kamu sendiri yang membuatnya.”
Sepertinya Devi memang benar-benar tak mau menuliskan puisi itu. Aku tak tahu, apa alasan yang memenjarakan dirinya sehingga tak mau membantuku. Apakah dia ingin aku membuat karya sendiri untuk hadiah puisi itu atau dia memang tak mau terlibat dengan kebahagiaan yang baru saja aku peroleh, walau hanya kebahagiaan semu. Aku tak mau berspekulasi. Yang aku tahu, dia bukanlah orang yang tak mau menolong sesama, namun dia adalah orang yang selalu memberikan pelajaran secara tersirat maupun tersurat kepada lawan bicaranya.
“Baiklah kalau begitu. Aku akan menulis sendiri puisi itu. Puisi dari hatiku sendiri. Kamu tahu, siapa penerima puisi itu? Orang yang kamu sebut beruntung tadi adalah aku sendiri. Puisi itu akan kuberikan kepada diriku sendiri. Dari aku dan untuk aku.”
“Apa maksutmu? Aku tak mengerti. Jangan sok puitis kamu!” Kali ini dia sangat serius. Bahkan dari tatap matanya, bisa aku simpulkan kalau dia agak jengkel atau bahkan marah dengan kalimatku tadi.
“Besok adalah hari ulang tahunku. Aku melakukan perjalanan ini hanya untuk mencari inspirasi baru demi sebuah hadiah untuk aku sendiri. Namun, hati dan logikaku sepertinya menjauh. Mereka tak mau memberiku hadiah ulang tahun. Bahkan, orang yang selama ini cukup dekat dan istimewa di hatiku pun, juga tak mau memberiku hadiah. Walau itu hanya sebatas menuliskan puisi.”
Aku bangun dari tempat dudukku. Sambil tersenyum aku pandang Devi dengan tajam. Ia masih tak percaya dengan semuanya. Entah apa yang ia pikirkan. Sepertinya ia mau bicara, namun terhalang oleh tembok kokoh yang menghentikan kata-katanya.
“Semoga kita bisa berjumpa lagi. Sukses buat kamu.” Aku pergi dari tempat itu. Berjalan membelakangi pandangannya.
Lirih terdengar suara dari belakang. Mungkin itu suara Devi. Namun, aku tak mendengar pasti, suara itu melebur dengan jeritan kendaraan yang sejak tadi lalu lalang di jalanan ini. Akupun juga semakin tak mengerti. Dalam beberapa menit yang lalu aku merasakan kesenangan dan kenikmatan yang nyaris sempurna: jalan-jalan tengah pekan tanpa secuil tanggungan tugas kuliah dan bertemu dengan yang teristimewa. Namun, semua itu bertransformasi dengan cepat hanya dalam hitungan detik. Semua menjadi kepedihan dan kekecewaan. Baru aku menyadari, bahwa di dunia ini tak ada yang benar-benar sempurna dan semuanya serba sementara, tak ada yang mutlak maupun abadi. Semuanya hanya bayang semu. Layaknya dia: selalu mendapat tempat teristimewa di hati ini, namun tak mampu memberikan yang teristimewa pula untuk hati ini. Walaupun sudah aku pinta.
Hari ini memang tak aku dapatkan sebuah puisi dari hati yang teristimewa, untuk ulang tahunku besok. Tetapi, aku mendapat karya dari hati yang lain, yaitu dari hatiku. Iya, inilah hadiahku, inilah puisi dari hati. Semua ini adalah puisi dari hati. Puisi dari hatiku, bukan darinya. Puisi untuk aku, bukan untuk dia.

BEK130592

Tidak ada komentar:

Posting Komentar