Translate

Sabtu, 17 Agustus 2013

ANTARA AKU, KAMU, DAN HUJAN



Pelajaran hari ini sangat membosankan. Tak hanya pelajaran, namun juga teman-teman kuliah yang sepertinya hari ini mereka semua berjanji untuk membuat hatiku begitu capai. Tak seperti biasanya, perasaan yang aku rasakan hari ini adalah kejenuhan yang telah mencapai titik tertinggi. Dan anehnya hari ini berlalu begitu lama. Seakan aku terpenjara di ruangan vakum selama berabad-abad. Begitu menyesakkan hati. Entah apa yang terjadi dengan diriku hari ini. Rasanya semua begitu menyiksa.
Akhirnya waktu yang aku tunggu pun tiba. Kuliah hari ini selesai juga. Dan waktunya aku untuk pulang. Waktu dimana aku akan membebaskan diriku dari sekapan rasa jenuh. Kulangkahkan kaki ini berjalan keluar dari penjara tak terlihat ini. Namun, betapa sialnya aku hari ini. Ternyata siksaanku tak berhenti di sini. Betapa tidak, hujan deras segera turun menghajar bumi yang kering. Dan mau tidak mau, aku harus sejenak berhenti dan berdiri seperti orang bodoh. Seperti Si Pitung sedang tertangkap Belanda. Tak ada yang bisa aku lakukan di lantai tiga ini. Hanya bisa menatap kosong tiap butir air yang jatuh. Sambil mendengarkan ribuan kata keluar dari mulut-mulut liar temanku. Dan ini semakin membuatku merasa jenuh. Sangat jenuh. Mungkin jika ada kantin di dekatku, aku akan menghabiskan seluruh makanan yang ada.
Detik demi detik aku lalui dengan hanya menatap setiap hujan yang turun sambil bersandar di dinding. Sementara teman-temanku sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Ada yang asyik dengan sosial network-nya, ada yang sibuk dengan laptop dan tugas kuliahnya, ada juga yang sibuk gebetan mereka masing-masing. Dan yang terakhir inilah yang membuatku sejenak berpikir. Yang secara tiba-tiba menuntunku untuk mendekatkan wajahku pada ribuan air yang jatuh dari langit. Terpikir olehku akan masa-masa empat tahun yang lalu, waktu dimana aku masih duduk di bangku SMA. Masa yang begitu indah. Kenangan yang indah sekali. Dan kenangan itu terjadi ketika keadaan seperti ini. Saat hujan turun. Dulu saat aku SMA, sering sekali aku pulang terakhir. Biasanya setelah pelajaran selesai aku langsung ke masjid, sekedar untuk membaringkan raga ini. Kadang juga bercanda dengan teman-teman dan guru agama kami. Tapi hari itu cuaca sedikit tak bersahabat. Ketika aku sedang sibuk dengan candaanku, tiba-tiba hujan turun. Cukup deras dan cukup lama. Namun, aku juga mulai bosan dengan candaan ini. Aku keluar meninggalkan mereka, dengan alasan aku mau memarkir motorku dengan benar, agar tak kehujanan. Padahal, sebenarnya motorku sudah tertata dengan baik. Aku berjalan keluar. Merayap-rayap di tepian gedung. Bukan tempat parkir yang aku tuju, melainkan perpustakaan. Sambil berdoa agar petugasnya masih menata buku, sehingga aku bisa melihat kecantikan parasnya. Iya, petugas perpus kami yang baru adalah dua wanita muda yang cantik jelita. Tak dapat dipungkiri, semua murid lelaki di sekolah ini sangat senang ketika melihatnya. Bahkan guru kami pun juga ada yang naksir. Yah wajarlah. Manusiawi bukan? Namun rupanya aku tak beruntung hari ini. Mereka rupanya telah pulang. Perpus sudah tutup. Aku lanjutkan langkah kakiku. Menyusuri ruangan demi ruangan. Hingga aku terhenti pada salah satu ruang kelas. Ruang kelas sepuluh. Kulihat di dalam ruangan ada seorang murid perempuan. Ia duduk sendiri di dekat pintu sambil menatap air yang turun dengan penuh kebahagiaan di matanya. Perempuan yang cantik dan tak asing bagiku. Dia adalah Devi. Teman sekelasku. Tapi, kenapa dia ada di ruang kelas sepuluh? Padahal kami sudah kelas sebelas. Lebih baik aku tanya dia. Aku dekati dan kusapa dia. “Hay.. ngapain kamu sendirian di sini? Kok tidak pulang?” Dia rupanya cukup kaget dengan kehadiran dan pertanyaan yang aku layangkan padanya. Dengan wajah dan mata yang masih terkejut ia memberikan jawaban kepadaku. Dan yang tak ketinggalan adalah senyuman manis yang selalu menghiasi bibir kecinya. “Oh… kamu. Belum, masih nunggu hujannya berhenti, soalnya tadi rapat OSIS dulu. Dan yang lebih sial lupa tadi tidak membawa jas hujan. Kamu sendiri ngapain kok belum pulang juga? Nunggu hujan reda juga?” Aku seakan tak sanggup lagi untuk berkata sepatah katapun. Entah kenapa jantung ini berdebar lebih kencang. Aku gugup sekali. Kata-kata yang dia ucapkan begitu lembut dan menawan. Ditambah senyuman yang mempesona. Sungguh dia adalah pemandangan terindah di hatiku. “Wah… ditanya kok malah diam dan terpaku seperti patung sih?”. Lagi, tutur kata yang menawan dan senyuman manis itu kembali mempesonakan aku. Namun, kali ini menyadarkanku. Aku tersadar bahwa aku sedang berbicara dengannya. Dengan gugup aku menjawab pertanyaan darinya. “Oh… anu… tadi aku istirahat di masjid dulu, eh mau pulang kok malah hujan. Jadi ya sama dengan kamu, nunggu hujan berhenti juga jadinya.” Aku pun tak lupa membalas senyumnya dengan senyuman yang penuh rasa malu dariku. “Oh… begitu…” Belum sempat ia meneruskan perkataannya, aku kembali melontarkan pertanyaan untuknya. “Kok sendirian? Mana temen-temen OSIS-nya?” Cukup kaget dia dengan gelontoran pertanyaan yang aku tujukan untuknya. Entah apa yang ada dipikirannya ketika itu. “Iya, itu temen-temen ngobrol di ruang OSIS. Rapatnya kan sudah selesai barusan, jadi aku keluar dan duduk di sini. Menikmati hujan sendiri.” Kembali, sesuatu yang mempesona itu keluar dari dirinya. Senyuman manis dibalik bibir mungilnya. Dan senyuman itulah yang membuatku semakin tertarik untuk ngobrol dengannya.
“Wah… kalau begitu aku mengganggu kenikmatanmu bersama hujan ya?”
“Oh… tidak kok, tidak sama sekali. Justru aku sangat senang jika ada yang mau aku ajak ngobrol sambil menikmati hujan.”
“Sepertinya kamu sangat menyukai hujan ya?” Rupanya kali ini dia cukup kaget dengan pertanyaan yang aku katakana.
“Oh... tidak juga.” Kali ini kata-kata yang dia keluarkan terasa hambar. Tak ada notasi dan senyuman yang indah itu.
“Aku sebenarnya sangat kesal ketika hujan turun. Rasanya hujan begitu jahat. Semua aktivitas manusia seakan gagal total karena hujan. Contoh mudahnya adalah kita ini, kita gagal pulang karena hujan. Iya kan? Hujan itu jahat.”
Dia hanya tersenyum manis ketika aku mencurahkan pendapatku tentang hujan. Kemudian dia dengan penuh cahaya kebahagiaan menatapku lantas berkata. “Hujan itu tidak jahat. Hujan itu menyenangkan. Aku suka hujan. Ketika hujan turun, aku merasa sepertinya aku berada di dalam pelukan cinta kedua orang tuaku. Begitu nyaman dan menenangkan. Sama seperti hujan ini.”
Lagi, rasanya aku kembali terbujur kaku ketika mendengar untaian kata darinya. Sama seperti saat pertama aku menyapanya di sini. “Hujan itu menyenangkan. Begitu nyaman dan menenangkan.” Ia memang benar. Hujan itu menyenangkan, sama seperti dirimu begitu menyenangkan dan menenangkan. Dan setidaknya aku harus berterimakasih kepada hujan. karena hujanlah aku bisa berduaan bersamamu hari ini. Ujarku dalam hati. Tak lama lamunanku terceraikan oleh sapaan halus darinya.
“Loh… kenapa? Kok bengong lagi? Wah… nggak beres nih kamu…” Sambil tersenyum dia menatapku seakan mencari-cari tanggapanku atas pernyataannya.
Kembali aku tersadar dari kekagumanku terhadapnya. “Tidak… tidak apa-apa kok.” Aku menutup mata dan menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menghilangkan rasa gugupku yang selalu datang kala dia berkata dan menatapku. Tak lama ku buka mataku, sambil membalas senyumnya aku katakana kepadanya. “Memang sih hujan itu kadang bikin kita tenang, damai, dan juga kadang membuat kita merasa begitu menyenangkan. Seperti halnya padaku saat ini.” Dia menatapku dengan penuh rasa kaget. Tajam dia menatapku. Tatapan yang berniat mencari maksud perkataanku sampai jauh ke dalam otakku.
Akupun juga cukup kaget dengan tatapan yang dia berikan kepadaku. Apa mungkin ada yang salah dengan ucapanku? Sejenak aku berpikir keras sambil tidak melepaskan tatapan yang sama darinya. Aku merenungkan kembali kata-kataku, dan mencari-cari bagian mana yang salah. Hingga secara spontan dan penuh rasa kaget aku berkata,”Eh… maksudku anu… eehmm… maksudku saat ini walaupun, hujan kita kan masih bisa merasa senang. Iya kan?” Devi hanya tersenyum melihatku berkata dengan terbata-bata. Berbeda dengan sebelumnya, senyumannya kali ini sangat manis dan sangat mendamaikan. Sungguh dia adalah bidadari yang Tuhan turunkan untukku, setidaknya untuk hari ini. Akupun ikut tersenyum. Dan akhirnya kami tertawa lepas. Diiringi gemericik air yang turun. Sungguh sore itu adalah sore yang tak pernah aku bayangkan.
Akhirnya keceriaan kami terpecahkan oleh suara yang tiba-tiba muncul dari ruangan kecil di sebelah barat sana. “Cieee… ada yang pacaran nih…??” Suara mereka berdua serempak, dan dengan penuh tawa. Ternyata Rahayu dan Tyas. Mereka berdua adalah teman seangkatan dengan kami. Dan mereka juga sahabat dekat Devi, dan sama-sama pengurus OSIS. Keceriaan kami hilang seketika. Kami sangat kaget dengan kedatangan mereka.
“Eh ayo Yu, kita tinggalin mereka, entar kita ganggu mereka.”
“Iya… entar kita dikira tukang ganggu lagi.”
Mereka tertawa terbahak-bahak sambil berjalan meninggalkan kami. “Bye pasangan baru…!!” Ucap mereka kompak dengan penuh tawa diikuti lambaian tangan yang seakan memberi restu kepada kami.
Aku dan Devi masih diam dan hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkah mereka. Tapi Devi memecah kebingungan kami.
“Ah… apa-apaan sih mereka? Ada-ada saja.”
“Kenapa sih? Biarin saja mereka. Yang penting mereka senang. Iya kan?” Sambil tertawa aku mencoba membela Rahayu dan Tyas.
“Ya bukannya begitu sih... memang tidak apa-apa. Tapi nanti kalau gebetan kamu ngeliat kan bahaya. Bisa terjadi perang dunia ketiga.” Senyuman itu tak pernah ia lupakan.
Aku hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa lebar mendengar kata-kata Devi. “Wah-wah… kamu ini apa-apaan sih? Teman dekat cewek saja nggak punya, apalagi gebetan. Wah… kamu ini yang bahaya.”
“Loh… kok malah nyerang aku juga sih? Apanya yang bahaya coba? Awas ya kamu!” Kali ini senyuman itu tak tampak. Wajah yang cemberut ia berikan kali ini. Dan lagi, aku hanya bisa tertawa riang melihat kelakuannya. Dia memang sangat lucu dan mempesona. “Bukannya aku nyerang kamu, tapi kan bahaya juga kalau pacar kamu yang itu tahu hal ini.” Kubalas wajah murungnya dengan senyuman kecil dariku.
Pacar. Iya, pacar. Aku setiap hari melihat Devi selalu berboncengan dengan seorang laki-laki. Saat ia pulang dan berangkat sekolah. Mereka terlihat seperti itu sejak dari kelas satu dulu. Dan sampai sekarang mereka masih seperti itu. Belakangan aku ketahui lelaki itu bernama Iman. Dia adalah murid kelas dua juga, teman kami juga. Satu angkatan.
“Hah… pacar? Siapa?” Kali ini dia seperti melihat kuntilanak yang wajahnya baru saja terkena siraman air keras. Devi begitu kaget dan tercengang. Akupun segera membangun pertahanan, sehingga ketika dia melepaskan kekuatan supernya, aku sudah siap dengan bentengku. Namun, sambil tersenyum palsu aku mencoba menjelaskan perkataanku yang tadi. “Ehm… maksudku yang setiap hari bersama kamu itu. Iman. Iya, Iman. Dia gebetan kamu kan? Hayyo ngaku?”
Aku harap-harap cemas dengan jawaban apa yang akan ia berikan kepadaku. Namun, kembali senyum manis itu mempesonakan aku. Menenangkan sekali melihat senyuman itu. “Iman. Dia kelas dua juga kok, sama seperti kita. Dan yang perlu kamu ketahui adalah bahwa dia itu sepupuku. Rumahnya saja dekat denganku, dan pacarnya adalah temanku SMP. Jadi kamu jangan membuat gossip. Aku  sama kayak kamu kok. Teman dekat cowok saja nggak punya, apalagi pacar. Eh… tapi awas ya kamu kalau coba-coba membuat gossip lagi.” Walaupun ia telah berhenti bicara, tapi ia masih tertawa kecil. Mungkin ia menertawakan ucapanku tadi, yang mengira kalau dia dan Iman pacaran. Akupun juga semakin salah tingkah. Mungkin lebih tepatnya bukan salah tingkah, tetapi malu dan khawatir. Khawatir kalau nanti image-ku berubah menjadi orang yang suka gossip. Tapi kucoba untuk tetap bersikap tenang dan seolah tak terjadi apa-apa. “Oh… ternyata dia sepupu kamu… aku kira pacar. Jadi malu aku.” Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Dalam hati akupun merasa bahagia sekali. Bagaimana tidak, aku masih punya peluang besar untuk mendapatkannya.
Sepotong kata dariku membuat tawa kami terhenti. “Menurutku cinta itu seperti hujan. Tanpa kita mencari, pasti akan datang sendiri jika waktunya tiba.”
Dia terlihat berpikir mencerna ucapanku. Atau bahkan ia mencari kata-kata yang indah untuk membalas pernyataanku. Lagi, senyuman mempesona itu kembali ia tunjukkan padaku. “Cinta itu seperti hujan. Kadang hujan membawa kita kepada kesedihan, namun kadang juga membawa kita kepada kebahagiaan dan ketenangan.”
“Cinta itu seperti hujan. Membasahi tanah yang kering. Tanah yang gersang.” Belum sempat aku berpikir mencari kata-kata untuk membalas ungkapan darinya, namun ia kembali melontarkan kata-kata indahnya kepadaku. Wah aku kalah selangkah nih dari dia. Bisikku dalam hati.
“Cinta itu ibarat secangkir kopi. Akan terasa nikmat jika masih panas, namun resikonya cepat habis. Tetapi jika kita minum sedikit demi sedikit akan tahan lama, namun keburu dingin. Memang cinta itu membuat kita bingung. Sama seperti kita saat terjebak hujan.”
Dia tiba-tiba tertawa lebar mendengar kata-kata dariku. Dan akupun juga semakin bingung. Apa yang terjadi? Namun, kuikuti saja dia dengan tawa kecil dari bibirku.
“Kok kamu tertawa sih? Lucukah? Atau ada yang salah?” Aku tak dapat menyembunyikan rasa penasaranku terhadap tawa yang ia berikan.
“Oh… nggak kok. Nggak ada yang salah. Aku hanya kagum saja dengan kamu. Ternyata kamu puitis juga ya? Dan semua kata-kata tentang cinta yang kamu ucapkan tadi, terus terang aku sangat setuju dan menyukainya.” Senyuman yang lain ia tunjukkan kali ini. Senyuman yang sangat mempesona. Senyuman yang sangat tulus dan teristimewa dari hati. Setidaknya itulah yang dapat aku tafsirkan dari senyumannya kali ini. Dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya membalas senyuman yang ia berikan sambil garuk-garuk kepala seolah mencari kutu yang membuat aku kembali salah tingkah.
Senyuman kami terhenti, seiring berhentinya hujan. Dan akhirnya kami harus berpisah. Kami harus pulang. Tukar senyuman. Iya, itulah yang menjadi akhir dari romansa semu kami hari ini. Dan hujan adalah pahlawanku hari ini. Aku berjalan menuju ke masjid untuk mengambil tasku. Sementara Devi menuju ruang OSIS mengambil barang-barangnya. Kami memang saling membelakangi saat kami meninggalkan ruang kelas itu, namun aku merasa bahwa aku dan dia berjalan bersama, saling berdampingan. Sungguh hari ini adalah hari terindahku. Dan aku harap ini akan berlanjut sampai akhir hayat nanti. Doaku dalam hati.
Memang, cinta itu seperti hujan. Akan datang kepada kita di waktu yang tepat. Ketika waktunya sudah tiba. Dan ia tak hanya sekedar menjatuhkan air dari langit, namun ia juga membawa dua hal: kebahagiaan dan kesedihan. Kebahagiaan karena ia begitu menenangkan dan menyirami tanah yang gersang. Kesedihan karena ia membawa kita kepada kebingungan dan perbuatan serba salah. Namun, anehnya kita akan merasa linglung jika kesedihan itu tak menyertai cinta kita. Iya, inilah cinta. Tak dapat kita pikirkan secara logis, namun dapat kita rasakan kenikmatannya. Layaknya air yang turun dari langit: tak dapat kita pegang, namun bisa kita rasakan bagaimana ia menusuk kulit kita.
Salah satu teman kuliahku menepuk bahuku, dan menyadarkanku bahwa hujan telah reda. Tanda saatnya untuk pulang. Tak terasa bahwa tanganku sedari tadi menengadah ke langit. Dan telah basah oleh air hujan.
Layaknya air yang turun dari langit. Seperti itulah kisah cinta ini. Antara aku dan dia. Entah kapan ini akan berakhir. Karena semuanya akan berakhir jika saatnya telah tiba. Dan akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu yang lain. Percayalah semua akan indah pada waktunya. Lihatlah hujan.

BEK130592

Tidak ada komentar:

Posting Komentar