Pelajaran
hari ini sangat membosankan. Tak hanya pelajaran, namun juga teman-teman kuliah
yang sepertinya hari ini mereka semua berjanji untuk membuat hatiku begitu
capai. Tak seperti biasanya, perasaan yang aku rasakan hari ini adalah
kejenuhan yang telah mencapai titik tertinggi. Dan anehnya hari ini berlalu
begitu lama. Seakan aku terpenjara di ruangan vakum selama berabad-abad. Begitu
menyesakkan hati. Entah apa yang terjadi dengan diriku hari ini. Rasanya semua
begitu menyiksa.
Akhirnya
waktu yang aku tunggu pun tiba. Kuliah hari ini selesai juga. Dan waktunya aku
untuk pulang. Waktu dimana aku akan membebaskan diriku dari sekapan rasa jenuh.
Kulangkahkan kaki ini berjalan keluar dari penjara tak terlihat ini. Namun,
betapa sialnya aku hari ini. Ternyata siksaanku tak berhenti di sini. Betapa
tidak, hujan deras segera turun menghajar bumi yang kering. Dan mau tidak mau,
aku harus sejenak berhenti dan berdiri seperti orang bodoh. Seperti Si Pitung
sedang tertangkap Belanda. Tak ada yang bisa aku lakukan di lantai tiga ini.
Hanya bisa menatap kosong tiap butir air yang jatuh. Sambil mendengarkan ribuan
kata keluar dari mulut-mulut liar temanku. Dan ini semakin membuatku merasa
jenuh. Sangat jenuh. Mungkin jika ada kantin di dekatku, aku akan menghabiskan
seluruh makanan yang ada.
Detik
demi detik aku lalui dengan hanya menatap setiap hujan yang turun sambil
bersandar di dinding. Sementara teman-temanku sibuk dengan urusan mereka
masing-masing. Ada yang asyik dengan sosial network-nya, ada yang sibuk dengan
laptop dan tugas kuliahnya, ada juga yang sibuk gebetan mereka masing-masing.
Dan yang terakhir inilah yang membuatku sejenak berpikir. Yang secara tiba-tiba
menuntunku untuk mendekatkan wajahku pada ribuan air yang jatuh dari langit.
Terpikir olehku akan masa-masa empat tahun yang lalu, waktu dimana aku masih
duduk di bangku SMA. Masa yang begitu indah. Kenangan yang indah sekali. Dan
kenangan itu terjadi ketika keadaan seperti ini. Saat hujan turun. Dulu saat
aku SMA, sering sekali aku pulang terakhir. Biasanya setelah pelajaran selesai
aku langsung ke masjid, sekedar untuk membaringkan raga ini. Kadang juga
bercanda dengan teman-teman dan guru agama kami. Tapi hari itu cuaca sedikit
tak bersahabat. Ketika aku sedang sibuk dengan candaanku, tiba-tiba hujan
turun. Cukup deras dan cukup lama. Namun, aku juga mulai bosan dengan candaan
ini. Aku keluar meninggalkan mereka, dengan alasan aku mau memarkir motorku
dengan benar, agar tak kehujanan. Padahal, sebenarnya motorku sudah tertata
dengan baik. Aku berjalan keluar. Merayap-rayap di tepian gedung. Bukan tempat
parkir yang aku tuju, melainkan perpustakaan. Sambil berdoa agar petugasnya
masih menata buku, sehingga aku bisa melihat kecantikan parasnya. Iya, petugas
perpus kami yang baru adalah dua wanita muda yang cantik jelita. Tak dapat
dipungkiri, semua murid lelaki di sekolah ini sangat senang ketika melihatnya.
Bahkan guru kami pun juga ada yang naksir. Yah wajarlah. Manusiawi bukan? Namun
rupanya aku tak beruntung hari ini. Mereka rupanya telah pulang. Perpus sudah
tutup. Aku lanjutkan langkah kakiku. Menyusuri ruangan demi ruangan. Hingga aku
terhenti pada salah satu ruang kelas. Ruang kelas sepuluh. Kulihat di dalam
ruangan ada seorang murid perempuan. Ia duduk sendiri di dekat pintu sambil
menatap air yang turun dengan penuh kebahagiaan di matanya. Perempuan yang
cantik dan tak asing bagiku. Dia adalah Devi. Teman sekelasku. Tapi, kenapa dia
ada di ruang kelas sepuluh? Padahal kami sudah kelas sebelas. Lebih baik aku
tanya dia. Aku dekati dan kusapa dia. “Hay.. ngapain kamu sendirian di sini?
Kok tidak pulang?” Dia rupanya cukup kaget dengan kehadiran dan pertanyaan yang
aku layangkan padanya. Dengan wajah dan mata yang masih terkejut ia memberikan
jawaban kepadaku. Dan yang tak ketinggalan adalah senyuman manis yang selalu
menghiasi bibir kecinya. “Oh… kamu. Belum, masih nunggu hujannya berhenti,
soalnya tadi rapat OSIS dulu. Dan yang lebih sial lupa tadi tidak membawa jas
hujan. Kamu sendiri ngapain kok belum pulang juga? Nunggu hujan reda juga?” Aku
seakan tak sanggup lagi untuk berkata sepatah katapun. Entah kenapa jantung ini
berdebar lebih kencang. Aku gugup sekali. Kata-kata yang dia ucapkan begitu
lembut dan menawan. Ditambah senyuman yang mempesona. Sungguh dia adalah pemandangan
terindah di hatiku. “Wah… ditanya kok malah diam dan terpaku seperti patung
sih?”. Lagi, tutur kata yang menawan dan senyuman manis itu kembali
mempesonakan aku. Namun, kali ini menyadarkanku. Aku tersadar bahwa aku sedang
berbicara dengannya. Dengan gugup aku menjawab pertanyaan darinya. “Oh… anu…
tadi aku istirahat di masjid dulu, eh mau pulang kok malah hujan. Jadi ya sama
dengan kamu, nunggu hujan berhenti juga jadinya.” Aku pun tak lupa membalas
senyumnya dengan senyuman yang penuh rasa malu dariku. “Oh… begitu…” Belum
sempat ia meneruskan perkataannya, aku kembali melontarkan pertanyaan untuknya.
“Kok sendirian? Mana temen-temen OSIS-nya?” Cukup kaget dia dengan gelontoran
pertanyaan yang aku tujukan untuknya. Entah apa yang ada dipikirannya ketika
itu. “Iya, itu temen-temen ngobrol di ruang OSIS. Rapatnya kan sudah selesai
barusan, jadi aku keluar dan duduk di sini. Menikmati hujan sendiri.” Kembali,
sesuatu yang mempesona itu keluar dari dirinya. Senyuman manis dibalik bibir
mungilnya. Dan senyuman itulah yang membuatku semakin tertarik untuk ngobrol
dengannya.
“Wah…
kalau begitu aku mengganggu kenikmatanmu bersama hujan ya?”
“Oh…
tidak kok, tidak sama sekali. Justru aku sangat senang jika ada yang mau aku
ajak ngobrol sambil menikmati hujan.”
“Sepertinya
kamu sangat menyukai hujan ya?” Rupanya kali ini dia cukup kaget dengan
pertanyaan yang aku katakana.
“Oh...
tidak juga.” Kali ini kata-kata yang dia keluarkan terasa hambar. Tak ada
notasi dan senyuman yang indah itu.
“Aku
sebenarnya sangat kesal ketika hujan turun. Rasanya hujan begitu jahat. Semua
aktivitas manusia seakan gagal total karena hujan. Contoh mudahnya adalah kita
ini, kita gagal pulang karena hujan. Iya kan? Hujan itu jahat.”
Dia
hanya tersenyum manis ketika aku mencurahkan pendapatku tentang hujan. Kemudian
dia dengan penuh cahaya kebahagiaan menatapku lantas berkata. “Hujan itu tidak
jahat. Hujan itu menyenangkan. Aku suka hujan. Ketika hujan turun, aku merasa
sepertinya aku berada di dalam pelukan cinta kedua orang tuaku. Begitu nyaman
dan menenangkan. Sama seperti hujan ini.”
Lagi,
rasanya aku kembali terbujur kaku ketika mendengar untaian kata darinya. Sama
seperti saat pertama aku menyapanya di sini. “Hujan itu menyenangkan. Begitu nyaman dan menenangkan.” Ia memang
benar. Hujan itu menyenangkan, sama seperti dirimu begitu menyenangkan dan
menenangkan. Dan setidaknya aku harus berterimakasih kepada hujan. karena
hujanlah aku bisa berduaan bersamamu hari ini. Ujarku dalam hati. Tak lama
lamunanku terceraikan oleh sapaan halus darinya.
“Loh…
kenapa? Kok bengong lagi? Wah… nggak beres nih kamu…” Sambil tersenyum dia
menatapku seakan mencari-cari tanggapanku atas pernyataannya.
Kembali
aku tersadar dari kekagumanku terhadapnya. “Tidak… tidak apa-apa kok.” Aku
menutup mata dan menarik nafas dalam-dalam untuk mencoba menghilangkan rasa
gugupku yang selalu datang kala dia berkata dan menatapku. Tak lama ku buka
mataku, sambil membalas senyumnya aku katakana kepadanya. “Memang sih hujan itu
kadang bikin kita tenang, damai, dan juga kadang membuat kita merasa begitu
menyenangkan. Seperti halnya padaku saat ini.” Dia menatapku dengan penuh rasa
kaget. Tajam dia menatapku. Tatapan yang berniat mencari maksud perkataanku
sampai jauh ke dalam otakku.
Akupun
juga cukup kaget dengan tatapan yang dia berikan kepadaku. Apa mungkin ada yang
salah dengan ucapanku? Sejenak aku berpikir keras sambil tidak melepaskan
tatapan yang sama darinya. Aku merenungkan kembali kata-kataku, dan
mencari-cari bagian mana yang salah. Hingga secara spontan dan penuh rasa kaget
aku berkata,”Eh… maksudku anu… eehmm… maksudku saat ini walaupun, hujan kita
kan masih bisa merasa senang. Iya kan?” Devi hanya tersenyum melihatku berkata
dengan terbata-bata. Berbeda dengan sebelumnya, senyumannya kali ini sangat
manis dan sangat mendamaikan. Sungguh dia adalah bidadari yang Tuhan turunkan
untukku, setidaknya untuk hari ini. Akupun ikut tersenyum. Dan akhirnya kami
tertawa lepas. Diiringi gemericik air yang turun. Sungguh sore itu adalah sore
yang tak pernah aku bayangkan.
Akhirnya
keceriaan kami terpecahkan oleh suara yang tiba-tiba muncul dari ruangan kecil
di sebelah barat sana. “Cieee… ada yang pacaran nih…??” Suara mereka berdua
serempak, dan dengan penuh tawa. Ternyata Rahayu dan Tyas. Mereka berdua adalah
teman seangkatan dengan kami. Dan mereka juga sahabat dekat Devi, dan sama-sama
pengurus OSIS. Keceriaan kami hilang seketika. Kami sangat kaget dengan
kedatangan mereka.
“Eh
ayo Yu, kita tinggalin mereka, entar kita ganggu mereka.”
“Iya…
entar kita dikira tukang ganggu lagi.”
Mereka
tertawa terbahak-bahak sambil berjalan meninggalkan kami. “Bye pasangan
baru…!!” Ucap mereka kompak dengan penuh tawa diikuti lambaian tangan yang
seakan memberi restu kepada kami.
Aku
dan Devi masih diam dan hanya bisa tersenyum kecil melihat tingkah mereka. Tapi
Devi memecah kebingungan kami.
“Ah…
apa-apaan sih mereka? Ada-ada saja.”
“Kenapa
sih? Biarin saja mereka. Yang penting mereka senang. Iya kan?” Sambil tertawa
aku mencoba membela Rahayu dan Tyas.
“Ya
bukannya begitu sih... memang tidak apa-apa. Tapi nanti kalau gebetan kamu
ngeliat kan bahaya. Bisa terjadi perang dunia ketiga.” Senyuman itu tak pernah
ia lupakan.
Aku
hanya bisa menggelengkan kepala dan tertawa lebar mendengar kata-kata Devi.
“Wah-wah… kamu ini apa-apaan sih? Teman dekat cewek saja nggak punya, apalagi
gebetan. Wah… kamu ini yang bahaya.”
“Loh…
kok malah nyerang aku juga sih? Apanya yang bahaya coba? Awas ya kamu!” Kali
ini senyuman itu tak tampak. Wajah yang cemberut ia berikan kali ini. Dan lagi,
aku hanya bisa tertawa riang melihat kelakuannya. Dia memang sangat lucu dan
mempesona. “Bukannya aku nyerang kamu, tapi kan bahaya juga kalau pacar kamu
yang itu tahu hal ini.” Kubalas wajah murungnya dengan senyuman kecil dariku.
Pacar.
Iya, pacar. Aku setiap hari melihat Devi selalu berboncengan dengan seorang
laki-laki. Saat ia pulang dan berangkat sekolah. Mereka terlihat seperti itu
sejak dari kelas satu dulu. Dan sampai sekarang mereka masih seperti itu.
Belakangan aku ketahui lelaki itu bernama Iman. Dia adalah murid kelas dua
juga, teman kami juga. Satu angkatan.
“Hah…
pacar? Siapa?” Kali ini dia seperti melihat kuntilanak yang wajahnya baru saja
terkena siraman air keras. Devi begitu kaget dan tercengang. Akupun segera
membangun pertahanan, sehingga ketika dia melepaskan kekuatan supernya, aku
sudah siap dengan bentengku. Namun, sambil tersenyum palsu aku mencoba
menjelaskan perkataanku yang tadi. “Ehm… maksudku yang setiap hari bersama kamu
itu. Iman. Iya, Iman. Dia gebetan kamu kan? Hayyo ngaku?”
Aku
harap-harap cemas dengan jawaban apa yang akan ia berikan kepadaku. Namun,
kembali senyum manis itu mempesonakan aku. Menenangkan sekali melihat senyuman
itu. “Iman. Dia kelas dua juga kok, sama seperti kita. Dan yang perlu kamu
ketahui adalah bahwa dia itu sepupuku. Rumahnya saja dekat denganku, dan
pacarnya adalah temanku SMP. Jadi kamu jangan membuat gossip. Aku sama kayak kamu kok. Teman dekat cowok saja
nggak punya, apalagi pacar. Eh… tapi awas ya kamu kalau coba-coba membuat
gossip lagi.” Walaupun ia telah berhenti bicara, tapi ia masih tertawa kecil.
Mungkin ia menertawakan ucapanku tadi, yang mengira kalau dia dan Iman pacaran.
Akupun juga semakin salah tingkah. Mungkin lebih tepatnya bukan salah tingkah,
tetapi malu dan khawatir. Khawatir kalau nanti image-ku berubah menjadi orang
yang suka gossip. Tapi kucoba untuk tetap bersikap tenang dan seolah tak
terjadi apa-apa. “Oh… ternyata dia sepupu kamu… aku kira pacar. Jadi malu aku.”
Kami berdua tertawa terbahak-bahak. Dalam hati akupun merasa bahagia sekali.
Bagaimana tidak, aku masih punya peluang besar untuk mendapatkannya.
Sepotong
kata dariku membuat tawa kami terhenti. “Menurutku cinta itu seperti hujan.
Tanpa kita mencari, pasti akan datang sendiri jika waktunya tiba.”
Dia
terlihat berpikir mencerna ucapanku. Atau bahkan ia mencari kata-kata yang
indah untuk membalas pernyataanku. Lagi, senyuman mempesona itu kembali ia
tunjukkan padaku. “Cinta itu seperti hujan. Kadang hujan membawa kita kepada
kesedihan, namun kadang juga membawa kita kepada kebahagiaan dan ketenangan.”
“Cinta
itu seperti hujan. Membasahi tanah yang kering. Tanah yang gersang.” Belum
sempat aku berpikir mencari kata-kata untuk membalas ungkapan darinya, namun ia
kembali melontarkan kata-kata indahnya kepadaku. Wah aku kalah selangkah nih dari dia. Bisikku dalam hati.
“Cinta
itu ibarat secangkir kopi. Akan terasa nikmat jika masih panas, namun resikonya
cepat habis. Tetapi jika kita minum sedikit demi sedikit akan tahan lama, namun
keburu dingin. Memang cinta itu membuat kita bingung. Sama seperti kita saat
terjebak hujan.”
Dia
tiba-tiba tertawa lebar mendengar kata-kata dariku. Dan akupun juga semakin
bingung. Apa yang terjadi? Namun, kuikuti saja dia dengan tawa kecil dari
bibirku.
“Kok
kamu tertawa sih? Lucukah? Atau ada yang salah?” Aku tak dapat menyembunyikan
rasa penasaranku terhadap tawa yang ia berikan.
“Oh…
nggak kok. Nggak ada yang salah. Aku hanya kagum saja dengan kamu. Ternyata
kamu puitis juga ya? Dan semua kata-kata tentang cinta yang kamu ucapkan tadi,
terus terang aku sangat setuju dan menyukainya.” Senyuman yang lain ia
tunjukkan kali ini. Senyuman yang sangat mempesona. Senyuman yang sangat tulus
dan teristimewa dari hati. Setidaknya itulah yang dapat aku tafsirkan dari
senyumannya kali ini. Dan aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya membalas
senyuman yang ia berikan sambil garuk-garuk kepala seolah mencari kutu yang
membuat aku kembali salah tingkah.
Senyuman
kami terhenti, seiring berhentinya hujan. Dan akhirnya kami harus berpisah.
Kami harus pulang. Tukar senyuman. Iya, itulah yang menjadi akhir dari romansa
semu kami hari ini. Dan hujan adalah pahlawanku hari ini. Aku berjalan menuju
ke masjid untuk mengambil tasku. Sementara Devi menuju ruang OSIS mengambil
barang-barangnya. Kami memang saling membelakangi saat kami meninggalkan ruang
kelas itu, namun aku merasa bahwa aku dan dia berjalan bersama, saling
berdampingan. Sungguh hari ini adalah
hari terindahku. Dan aku harap ini akan berlanjut sampai akhir hayat nanti. Doaku
dalam hati.
Memang,
cinta itu seperti hujan. Akan datang kepada kita di waktu yang tepat. Ketika
waktunya sudah tiba. Dan ia tak hanya sekedar menjatuhkan air dari langit,
namun ia juga membawa dua hal: kebahagiaan dan kesedihan. Kebahagiaan karena ia
begitu menenangkan dan menyirami tanah yang gersang. Kesedihan karena ia
membawa kita kepada kebingungan dan perbuatan serba salah. Namun, anehnya kita
akan merasa linglung jika kesedihan itu tak menyertai cinta kita. Iya, inilah
cinta. Tak dapat kita pikirkan secara logis, namun dapat kita rasakan
kenikmatannya. Layaknya air yang turun dari langit: tak dapat kita pegang,
namun bisa kita rasakan bagaimana ia menusuk kulit kita.
Salah
satu teman kuliahku menepuk bahuku, dan menyadarkanku bahwa hujan telah reda.
Tanda saatnya untuk pulang. Tak terasa bahwa tanganku sedari tadi menengadah ke
langit. Dan telah basah oleh air hujan.
Layaknya
air yang turun dari langit. Seperti itulah kisah cinta ini. Antara aku dan dia.
Entah kapan ini akan berakhir. Karena semuanya akan berakhir jika saatnya telah
tiba. Dan akhir dari sesuatu adalah awal dari sesuatu yang lain. Percayalah
semua akan indah pada waktunya. Lihatlah hujan.
BEK130592
Tidak ada komentar:
Posting Komentar