Translate

Kamis, 03 Januari 2013

Awan Gadhe


“AWAN GADHE”
Alunan kokok ayam jago beradu dengan suara kodok merupakan irama terindah pagi itu. Perpaduan itu semakin sempurna dengan senyum fajar di ufuk. Tetesan air langit pun tak ketinggalan menemani pagi yang indah itu. Namun, keindahan subuh tak mengubah keheningan dan kegelapan di bilik ukuran 2,5 x 2,5 meter itu. Awan masih terjaga dengan mimpi yang tak karuan, yang hampir setiap hari ia alami. Mimpi yang abstrak. Di ruangan kecil itu, Awan tergeletak dengan damai. Tak ada kasur di sana. Hanya selembar karpet yang menutupi lantai, beserta dua guling. Bagi Awan, ini merupakan AC tersendiri baginya. Memang walau sudah dilapisi karpet, namun tetap saja badan terasa dingin saat berbaring di sana. Beberapa waktu berlalu. Keheningan dan kegelapan tak kunjung hilang dari ruangan itu. Tiba-tiba, irama tak beraturan, bak pesawat jatuh menghantam konser musik, terdengar dari luar ruangan itu. Spontan, alam bawah sadar Awan pun kaget. Seketika ia terbangun. “Suara apa barusan ya?” Celetuk Awan lirih sambil mengambil kotoran di matanya. Tak lama kemudian, suara meraung-raung nan berisik kembali terdengar dari luar pintu ruangan itu. Kali ini suara yang tak asing bagi Awan. Suara yang dapat ia deteksi.
“Awaann.....banguuunnnn!!!!! Sudah mau Dhuhur ini..!!” Suara Suti (ibu Awan) sambil memukuli pintu kamar Awan.
“Baru pukul lima pagi buukk... Dhuhurnya jam 12, bukan jam 5. Lagipula mentarinya goblok tuh.. masak masih embun sudah muncul, apa nggak kedinginan tuh!!!” Gumam Awan ngelantur sambil berdiri membuka pintu.
Awan langsung ke kamar mandi. Ia sudah tak kuat dengan setoran rutinnya. Setelah memenuhi tanggungjawabnya itu, Awan lalu melakukan aktivitas sehari-harinya. Aktivitas rutinnya tiap pagi. Bergelut dengan embun, melawan es berwujud udara. Ia dengan semangat membagikan makanan di belakang rumahnya. Makanan yang selalu dinantikan oleh ayamnya. Awan mulai bergelut dengan bisnis barunya (memelihara ayam) sejak ia telah resmi di wisuda oleh Kepala Sekolah SMA-nya, sekitar dua bulan yang lalu. Tak berselang lama, suara laki-laki dewasa keluar dari dalam dapur. “Awan, sarapan dan ngopi dulu!!” Ajak Supri kepada anaknya. Ngopi memang ritual pagi buat mereka berdua. Karena kopi-lah mereka sangat bergairah menjalani hari-hari mereka. Kopi atau ngopi memang menjadi adat tersendiri di daerah Awan. Daerah kota kecil yang masih merupakan distrik dari Jawa Timur, daerah yang bernama Kabupaten Tulungagung. Di Tulungagung, warung kopi merupakan adat tersendiri bagi masyarakatnya. Seakan-akan ngopi adalah ritual wajib. “Iya pak!!” Balas Awan sambil berjalan meninggalkan ayam-ayamnya. Ia langsung menuju meja dan menyantap hidangan yang tersedia. Bagi Awan tidaklah penting jenis lauknya, yang penting bisa makan. Itulah Awan. Bagi dia “buat apa kita makan enak, kalau di luar sana bertebaran saudara kita tak bisa makan”. Awan memang orang yang sederhana. Ia juga sangat kasihan kepada orang tuanya. Ibu Awan adalah seorang petani dan ibu rumah tangga yang ulung. Ayah Awan merupakan seorang tukang bangunan. Beliau merupakan cahaya keuangan di keluarga itu. Oleh sebab itu, Awan ingin sekali mencari uang dan membantu mereka berdua. Tapi realitas berbanding terbalik dengan idealisme Awan. Awan hanyalah seorang pemuda yang tak punya kekuatan dan berat badan lebih. Ia hanyalah pemuda kurus nan tinggi, tapi tak punya kekuatan layaknya pemuda seumurannya. Untuk itu, dia memelihara ayam dan kambing. Pekerjaan yang cukup tepat dan pas dengan postur tubuhnya.
Nyanyian burung tak diundang pun menjadi irama merdu yang menemani ngopi pagi Awan di teras belakang rumah. Waktu berlalu. Tiba-tiba suara yang tak asing menghancurkan ketentraman Awan. “Ada es-em-eess..!!” Suara Doraemon yang keluar dari handphone Awan. “Siapa sih yang sms pagi-pagi gini? Ganggu orang santai saja!” Awan berkata dalam hati sambil berjalan mengambil HP-nya. Ternyata sms dari Devi.
“Selamat pagi..nanti ada acara ngga’? kalau ngga’ ada nanti ikut aku yuk!!” Sms dari Devi.
Sontak, wajah dan hati Awan yang semula kesal karena ada sms yang mengganggu ritual ngopinya, kini menjadi berseri-seri dan seakan ia terbang bersama eloknya pelangi. Devi adalah teman SMA Awan. Dia adalah perempuan yang Awan taksir sejak dari kelas 2. Tapi anehnya, mereka berdua tak juga pacaran. Dan yang lebih aneh, mereka berdua juga bukan teman biasa. Mereka sangat mesra sekali layaknya orang pacaran. Tak heran, jika teman-teman mereka banyak yang mengira mereka pacaran. Entah apa yang ada dalam benak Awan, hingga sampai sekarang ia tak juga “menembak” Devi. Padahal, mereka berdua sebenarnya saling mencintai. Dan Devi pun hingga saat ini menunggu kata-kata itu keluar dari mulut Awan. Tiga kata yang akan merubah hubungan bahkan kehidupan mereka, yaitu “Aku Cinta Kamu.” Awan pun juga tak mengerti, kenapa hingga saat ini ia tak bisa mengungkapkan tiga kata itu. Menurutnya, Devi sangat berbeda dengan perempuan lainnya. Devi punya suatu aura yang luar biasa. Dan mulut Awan pun seakan gemetar ketika akan mengungkapkan tiga kata itu pada Devi. Dan inilah akibatnya, hingga saat ini hubungan mereka tak jelas, teman bukan, pacar pun juga bukan. Tak ada yang tahu, kapan hubungan ini akan berakhir dan memulai babak barunya, bahkan mereka berdua pun juga tak mengetahuinya. Biarlah waktu yang menjawab, itulah anggapan mereka berdua.
Detik demi detik berlalu. Awan pun terdiam, terjebak dalam lamunan. Sms dari Devi pun tak kunjung ia balas. Kali ini bukan faktor tidak punya pulsa, tapi Awan bingung. Kira-kira ada apa ya? Awan bertanya-tanya dalam lamunannya. Tak lama kemudian, Awan membuat keputusan. Ia ambil HP-nya. Tapi hal yang tak wajar terjadi. Awan tak membalas sms Devi. Tapi ia malah mencari nama Devi di daftar nama, dan kemudian memencet tombol Call. Awan menelpon Devi. Jelas ini bukan hal yang biasa. Karena biasanya sms saja mengandalkan bonusan, begitu juga kalau ia ingin telpon, bonusan telponlah yang ia cari. Tapi kali ini Awan rela kehilangan pulsa untuk telpon. Mungkin ini adalah sejarah baru bagi kehidupan Awan. Dan mungkin ini layak dimasukkan dalam “Rekor MURI.” Bukannya Awan pelit, tapi ia memang tak punya uang untk beli pulsa. Daripada buat beli pulsa lebih baik uang itu ia gunakan untuk membeli pakan ternak ayamnya.
“Hallo... Selamat pagi...” Terdengar suara ceria dari seorang perempuan di jauh sana. Devi.
“Selamat pagi juga Devi..” Balas Awan. “Ngomong-ngomong ada apa? Emangnya mau ke mana nanti?” Tanya Awan serius.
“Hemm...sebenernya ngga’ ada acara apa-apa kok. Kan besok aku udah ke Malang, nah hari adalah hari terakhir aku di Tulungagung, jadi aku mau muter-muter kota kelahiranku sebelum pindah sementara ke Malang.” Ujar Devi sambil tersenyum.
“Oohhh..” Awan tak bisa berkata-kata lagi. Ia hanya tertegun mendengar penjelasan Devi.
“Kenapa Wan? Kamu baik-baik saja kan?” Devi penasaran dengan perubahan ekspresi Awan.
“Ngga’ kenapa-kenapa kok. Oke, nanti sekitar jam 9 aku ke rumah kamu ya..!! Aku jemput!” Pinta Awan kepada Devi.
“Ya kalau ngga’ ngrepotin boleh saja jemput aku. Hehehe. Oh ya, nanti Riza juga ikut kok. Sekalian dia mau beli makanan untuk persediaan di Malang. Dia katanya sore ini udah harus berangkat ke Malang. Kalau begitu udahan ya telponnya. Aku mandi dulu. By the way terimakasih ya atas jemputannya.” Ujar Devi dengan ceria nan panjang, sepanjang jarak rumah mereka berdua. Rumah mereka berjarak sekitar 30 km.
“Iya, sama-sama. Aku juga mau mandi dulu.” Kata-kata tak berekspresi dari Awan yang mengakhiri pembicaraan lewat telpon itu. Memang Awan akan pergi jalan-jalan boncengan sama Devi. Tapi hal itu tak lantas membuat perasaan Awan berbunga-bunga. Ia justru malah kesal. Pikiran dan perasaannya hilang entah kemana, yang ada hanya kegalauan. Kali ini bukan karena tak punya uang untuk beli pulsa ataupun untuk membeli bensin, melainkan dua hal yang lahir dari pembicaraan telpon barusan. Pertama, Devi besok akan berangkat ke Malang untuk meneruskan studinya. Ia diterima di salah satu PTN terkenal di Malang lewat ujian SNMPTN. Sebenarnya Awan juga diterima di salah satu PTN terkenal di Malang lewat jalur SNMPTN juga, tapi kampusnya berbeda dengan kampus Devi. Hanya saja nasib mengatakan berbeda. Awan tak jadi mengambil kesempatan itu. Karena mahalnya biaya kuliah dan pendidikan di sana. Dan yang lebih parah, Awan tak punya banyak prestasi akademik maupun non-akademik saat di bangku SMA, jadi tak ada kesempatan untuk mendapat beasiswa. Dengan kepergian Devi ini, otomatis Awan akan jarang bertemu dengan Devi. Yang kedua, mereka pergi tak hanya berdua, tapi bertiga dengan Riza. Riza adalah teman SMA mereka juga. Mereka bertiga satu kelas ketika di SMA. Riza dan Devi memang bersahabat sejak kelas 2 SMA. Hubungan mereka juga wajar-wajar saja sebagai seorang sahabat. Tapi, analisa Awan mengatakan tidak demikian. Analisa Awan mendeteksi unsur-unsur cinta dari Riza. Apalagi Riza juga akan kuliah di Malang, walau PTN-nya berbeda dengan Devi.
Lama Awan hanya bersila di kamarnya. Pikirannya melayang menganalisa kedua masalah itu. Hingga akhirnya analisanya menghasilkan jalan keluar, yakni dia harus mandi dan berangkat menjalankan kewajibannya hari ini. Jemput Devi dan mengantarkan Devi jalan-jalan mengelilingi kota.
Akhirnya waktu itu datang. Awan, Devi, dan Riza muter-muter mengitari kota Bersinar, Tulungagung. Mereka wisata kuliner dan nongkrong lama di Alun-alun kota. Hingga mereka membuat kesepakatan, mengunjungi tempat khas Tulungagung. Kios “Kaos Gadhe dan batik khas Tulungagung”. Kaos Gadhe adalah kaos khas Tulungagung. Kaos produk home industri masyarakat Tulungagung. Kaos polos yang di belakangnya ada tulisan kata-kata bijak dengan bahasa Jawa (tulisan filsafat Jawa) dan logo khas Tulungagung. Mereka bertiga sangat bernafsu untuk menambah koleksi terbaru kaos Gadhe mereka. Terutama Riza dan Devi. Mereka berdua ingin mempublikasikan kaos khas kota mereka. Mereka ingin kaos Gadhe bisa ngetren di Malang, minimal bisa seperti kaos Joger yang notabene merupakan khas Bali. Akhirnya, setelah mereka bertiga memilih-milih kaos, layaknya pelayan menyortir ikan di TPI, mereka mendapatkan kaos Gadhe sesuai selera masing-masing. Tapi, ada kesamaan di antara ketiga kaos mereka, yakni warnanya sama-sama putih. Mereka memang sepakat untuk memilih warna putih. Alasannya, selain putih merupakan simbol kesucian, yakni untuk menandai bahwa mereka akan memulai aktivitas dan kehidupan baru demi tujuan yang suci. Warna putih merupakan warna populer untuk kaos Gadhe. Setelah selesai bernegosiasi dengan kasir, mereka keluar dan menuju kaki lima yang menjual es. Suasana hening sejenak tercipta di tempat itu. Beberapa menit tak ada suara keluar dari mulut, hanya gemuruh kendaraan lalulalang beradu dengan udara panas nan kotor yang menjadi alunan selama beberapa menit. Tiba-tiba lemparan kata dari laki-laki memecah keheningan dan alunan itu. “Tadi kamu beli Gadhe, tulisannya apa Dev?” Awan memulai pembicaraan.
“Hemm...tulisannya indah dan sangat memotivasi sekali. Ojo rumongso biso, nanging bisoho rumongso. (dalam bahasa Indonesia: Jangan merasa bisa, tapi bisa merasakan).” Jawab Devi gembira.
“Maksudnya gimana tuh?” Sahut Riza.
“Kita tidak boleh sombong, dan kita harus punya perhatian dan jiwa rendah hati.” Devi menjelaskan sambil tersenyum.
“Superrr sekali.” Celetuk Awan. Di ikuti tawa lebar dari ketiga manusia itu. “Jer Basuki Mawa Bea.” Awan membaca tulisan di kaos Gadhenya. “Jadi kita dalam melakukan segala hal, terutama mencari ilmu, kita memerlukan biaya dan tenaga. Intinya, kita tak boleh malas, kita harus giat berusaha menggapai cita-cita kita.” Awan nyerocos menjelaskan tulisan di Gadhenya.
“Kayak motivator saja kamu ini.” Sahut Devi. Seketika tawa lebar kembali terpecah di antara mereka bertiga.
“Sekarang giliranku untuk menjelaskan Gadheku.” Riza bersiap merangkai kata dan memegangi kaos Gadhenya. “Dikenaa Iwake Ojo Buthek Banyune.” (Ambillah ikannya, jangan sampai keruh airnya). Riza membaca tulisan di kaosnya. “Artinya apa Za?” tanya Awan. “Begini teman-teman...kita boleh bertindak atau berusaha apapun untuk kebutuhan kita dalam menggapai cita-cita, namun kita tidak boleh sampai merugikan orang lain atas tindakan kita. Begitu kawan-kawanku!!” Ungkap Riza dengan bangga.
“Wah..kamu amazing Za!!” Devi memuji Riza. Dan Riza hanya membalas dengan untaian senyuman. Tapi berbeda dengan Awan, dalam hati Awan timbul rasa cemburu atas kejadian barusan. Tak terasa waktu pun telah beranjak sore. Sudah waktunya untuk Riza berangkat memulai kehidupan baru di kota Malang. Begitu juga untuk Devi dan Awan. Sudah waktunya untuk pulang.
“Hati-hati Za. Besok aku akan menyusulmu.” Ujar Devi sambil tertawa. “Aku susul lewat mimpi aja ya!” Celoteh Awan sambil garuk-garuk kepala. Sontak! Riuh tawa kembali berhias antara ketiganya. “Oke-oke, kalian baik-baik ya, jangan sampai bertengkar.” Balas Riza sambil tertawa terbahak-bahak. Devi dan Awan hanya memanyunkan muka. Dan Riza pun berlalu meninggalkan mereka berdua yang bersiap pulang.
Akhirnya waktu itupun tiba. Devi pergi meninggalkan Awan ke kota impian pelajar Tulungagung, Kota Malang. Stasiun merupakan tempat terindah bagi mereka ketika itu. Layaknya dua insan yang berdiri di ujung Kapal Titanic. Tapi satu hal yang tidak sama dengan film Titanic, yakni Kaos Gadhe yang mereka pakai. “Kaos Gadhe adalah kaos khas yang menyatukan kita dalam perpisahan sementara ini, kuharap kamu selalu mengingat aku, sama halnya kamu selalu bangga ketika memakai kaos Gadhe.” Lontaran kata-kata serius dari Awan sambil menatap mata Devi. “So sweeettt...sok serius deh kamu...” Jawab Devi sambil tersenyum. “Jangan main cewek!! Selama aku tak ada!!” Imbuh Devi sambil tertawa kecil. Keduanya hanya tersenyum. Hingga akhirnya kereta pun datang dan Devi pun berangsur meninggalkan raga Awan, Stasiun, dan Tulungagung. Tapi tidak dengan kaos Gadhe dan cinta Awan yang selalu di hati Devi.
Beberapa bulan kejadian itu berlalu. Devi pun jarang mudik sejak saat itu. Riza pun juga tak begitu jelas kabarnya. Tapi, Awan sangat berterimakasih pada HP-nya. Benda kecil nan hitam itu menjadi alat mujarab untuk mengatasi rasa kangennya pada Devi. Sms dan telpon adalah perkara rutin bagi keduanya. Tapi keganjilan terjadi. Devi yang awalnya sering sms-an maupun telpon-telponan dengan Awan, kini menjadi jarang berkomunikasi antara keduanya.
Di Malang, Devi dan Riza tetap melanjutkan kekentalan persahabatan mereka. Bahkan, kini mereka menjadi sering jalan-jalan mengitari Malang bersama-sama. Hingga akhirnya apa yang dikhawatirkan Awan menjadi kenyataan. Riza menembak Devi. Dan Devi tak kuasa untuk menolak Riza.
Awan semakin gelisah dalam kesehariannya. Ia tak mengerti kenapa Devi mengacuhkan komunikasi dengannya. Ia hanya ingat, ketika Devi di Malang, mereka sempat cekcok. Itu karena kesalahpahaman dan kritikan Devi bahwa Awan tidak juga berubah menjadi dewasa. Tapi hal itu sudah selesai, dan mereka sudah bermaafan. Awan pun semakin pusing terjebak dalam pikiran galaunya. Pikiran yang selalu mencari kesalahan yang telah ia perbuat pada Devi, sehingga Devi mengacuhkan dia. Di tengah kegalauannya Awan mencoba menghibur diri. Hal yang cukup realistis bagi dia adalah ngecengin teman-teman kuliahnya. Terutama yang cewek. Karena keterbatasan dana, Awan terpaksa melanjutkan kuliah di PTN murah nan kurang berkualitas yang ada di kota asalnya, Tulungagung. Bagi dia, tak apalah dia berkorban mengubur keinginannya, yang penting orangtuanya tidak harus berkorban untuk memenuhi keinginan Awan. Dan yang paling penting ia tanamkan dalam hatinya adalah semua sekolah/tempat mencari ilmu itu sama, yang membedakan hanyalah kita. Bagaimana usaha kita untuk pandai dan sukses, itulah pembedanya. Karena kepintaran dan kesuksesan tidak ditentukan oleh sekolah, tapi oleh diri kita sendiri.
Entah apa yang mendorong Awan pagi itu. Saat melihat kaos Gadhe yang di gantung di kamarnya, ia tiba-tiba ingin ke Malang. Menemui Devi. Tak pikir panjang, sms ia sebar ke teman-temannya. Sms ajakan ke Malang. Kosong. Itulah hasil dari sms Awan, tak ada satupun temannya yang mau diajak ke Malang. Maklum, karena teman-temannya tak mau bolos kuliah hanya karena jalan-jalan ke Malang. Awan kembali berada dalam keadaan gundah. Apakah ia harus mengubur keinginannya untuk ke Malang atau nekat ke Malang sendirian, yang notabene jalan yang harus ditempuh Tulungagung-Malang, Awan pun tak begitu hafal betul. Waktu terus berlalu. Pikiran Awan pun semakin tak karuan. Namun, Gadhe menjadi pembeda. Gadhe lah kenangan indah bersama antara Devi dan Awan. Awan untuk pertama kalinya jalan-jalan seharian penuh sambil bonceng Devi, ditandai dengan kaos Gadhe. Suasana stasiun yang panas nan pengap seketika menjadi romantis nan berkesan, dan lagi-lagi Gadhe pun di sana. Tak berpikir lama, Awan pun mulai berkemas. Ia nekat pergi ke Malang sendirian. Waktu menunjukkan pukul satu siang. Awan memulai petualangannya. Motor bebek menjadi andalannya sampai Malang. Kaos Gadhe penuh kenangan pun tak luput dari tas yang ia bawa.
Malang. Kota yang sangat terkenal dengan apelnya dan juga dengan belasan PTN terbaiknya lengkap dengan ribuan mahasiswa dari berbagai penjuru tanah air bahkan warga asing serta klub sepakbolanya (Arema). Kini telah berhasil Awan jangkau. Kemudian ia menelpon salah satu temannya. Riza. Tak tahu kenapa nama Riza-lah yang ingin ia mintai bantuan untuk memberikan bantuan tempat tidur. Akhirnya, Awan pun menginap di kost-nya Riza. Gelagat Riza yang aneh, mengundang segudang pertanyaan dalam benak Awan. “Za, kamu kenapa? Kok sepertinya kamu ngga’ tenang? Ada masalah apa?” Awan memberanikan diri untuk bertanya. “Tak apa-apa Wan. Hanya numpuknya masalah kuliah,” jawab Riza lantas berjalan meninggalkan Awan. Sebenarnya Riza tak enak kepada Awan. Awan sangat mencintai Devi. Tapi Riza pun juga mencintai Devi, dan kesempatan untuk mencintai Devi secara penuh pun ada. Lagipula Awan pun juga tak kunjung meresmikan hubungannya dengan Devi. Hal itulah yang menjadi pertimbangan Riza selama ini. Dan Riza pun tahu, bahwa tujuan Awan ke Malang kali ini adalah untuk menemui Devi. Inilah yang membawa Riza pada titik kebingungan yang terdalam.
“Wan, kamu lapar ngga’? kita cari makan yuk!!” ajak Riza. “Ayo!! Sekalian nanti antar aku ke kost-nya Devi ya!!” Awan memohon. Dan Riza pun hanya tersenyum dan mengangguk. Warung langganan Riza selama ini adalah jawaban dari kelaparan yang melanda perut mereka malam itu. Warung yang hanya berjarak beberapa meter dari kost Devi. Setelah kelaparan menghilang dari perut mereka, kost Devi adalah destinasi selanjutnya bagi mereka berdua. Suasana ramai nan lucu tersaji di ruang tamu rumah itu. Walaupun hanya ada 3 orang di ruangan itu. Masalah batin yang terjadi di antara mereka bertiga pun seakan lenyap oleh candaan mereka. Namun, kalimat serius tiba-tiba muncul dari bibir Awan. “Dev, kenapa kamu akhir-akhir ini kok jarang berkomunikasi dengan aku? Seakan-akan kamu menghindar dari aku,” tanya Awan dengan nada dan wajah serius. Tiba-tiba jawaban justru keluar dari Riza. “Awan, Devi, aku keluar dulu ya? Kalian teruskan ngobrol kalian,” Riza berjalan keluar dengan senyum di bibirnya. Tak ada jawaban dari Devi, dia hanya bisa memandang Awan. Dia bingung, harus dari mana ia merangkai kata-kata. Kata-kata yang akan menimbulkan luka mendalam, walau dirangkai dari sudut manapun. “Maaf!! Aku memang bisa menjaga hingga sampai saat ini Gadhe yang kita beli bersama dulu, tapi aku tak bisa menjaga cintamu dalam hatiku. Kamu tak berubah, tetap kayak anak kecil yang tak bisa menjaga aku. Dan ketika aku butuh orang untuk bisa menjagaku, dia datang. Dan dia nyata, ngga’ kayak kamu, kamu selama ini hanya bayangan dalam pikiranku. Dan anehnya bayangan itu tak pernah memberikan identitasnya kepadaku,” tutur Devi dengan mata berkaca-kaca. “RIZA??” Awan menebak orang yang dimaksud Devi. Devi pun hanya tercengang mendengar perkataan Awan. Devi pun tak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.
“Selamat...kamu telah menemukan orang yang tepat, setidaknya untuk saat ini,” ucapan selamat dari Awan yang terdengar lirih, disertai senyuman yang dipaksakan di bibirnya. “Tak apa kamu memilih dia, tapi jangan pernah meminta aku untuk melupakanmu. Karena selamanya kamu akan menjadi Ratu bermahkota emas yang bersinggasana kastil agung di dalam hatiku. Dan biarlah kaos Gadhe ini, kaos yang pernah mengukir kenangan kita berdua, menjadi pengganti dirimu di mataku,” tambah Awan dengan hati tercabik-cabik.
“Kamu akan menemukan perempuan yang lebih baik dan pantas bagimu,” Devi berusaha menenangkan Awan.
“Tak usah menghibur aku, lebih baik saya hidup sendiri selamanya dalam kesetiaan, daripada saya harus hidup dengan seorang pendamping tapi hidupku bernaungkan kebohongan. Cinta terakhirku adalah kamu. Dan aku percaya kaos Gadhe kita ini nantinya akan membawa persatuan cinta antara kita,” ujar Awan dengan nada datar. Dan Devi pun tak bisa berkata apa-apa, dia hanya termenung dan tak terasa matanya pun terasa perih. Air pun keluar dari matanya. Awan pun berjalan keluar rumah. Tiba-tiba di depan pintu Riza menghadang Awan.
“Kamu salah Wan!! Devi sebenernya selalu mencintai kamu. Aku tahu, dia menerimaku karena aku baik padanya. Dia hanya kagum padaku bukan mencintaiku. Kamu tahu Wan, ia hampir setiap hari memakai Gadhe darimu itu. Dia sangat senang dan nyaman memakainya. Kalian berdua cocok sebagai seorang kekasih. Aku menyerahkan Devi padamu Wan,” tutur Riza kepada Awan. Devi pun terkejut mendengar kata-kata itu. Tapi akhirnya mereka semua paham. Dan Gadhe bukan hanya sekedar ciri khas, tapi pahlawan bagi mereka. Berkat Gadhe persahabatan mereka bertiga tidak jadi hancur, justru semakin kokoh. Dan berkat Gadhe pula, Devi pun akhirnya bersatu dalam tali cinta milik Awan.
“Karena cinta, persatuan bisa diwujudkan. Tapi karena cinta pula, kadang timbul permusuhan. Ingat, jangan pernah menjadikan cinta sebagai alat perpecahan. Karena cinta yang tulus adalah cinta yang ikhlas tak mengharapkan imbalan. Apapun bentuknya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar