Mungkin
bagi mayoritas orang hari ini bisa dikatakan sebagai hari yang menyedihkan.
Hari yang sangat dibenci, hari senin. Karena mayoritas orang merasa sangat
malas sekali untuk menjalankan aktivitas seperti biasanya: sekolah, masuk kantor,
mengajar, dan yang lainnya. Karena baru saja mereka menikmati liburan akhir
pekan bersama orang-orang yang mereka kasihi. Tentu saja mereka masih merasa
capek dan malas untuk bekerja hari ini. Dan hal ini juga sering terjadi padaku
kala masih sekolah dulu. Entah itu sebuah sindrom atau sugesti alam atau apa,
namun semua orang merasakannya. Tapi, demi sebuah komitmen dan tanggungjawab,
maka apapun yang terjadi kita harus tetap menjalaninya. Menjalani aktivitas
sehari-hari yang telah menunggu kita, baik itu sekolah atau ke kantor atau
mengajar atau yang lainnya. Walaupun memang hari senin adalah hari yang tetap
saja menyedihkan bagi kita semua.
Namun,
hari ini adalah hari yang berbeda bagiku. Hari ini adalah hari yang
menyenangkan bagiku. Walaupun hari ini adalah hari senin. Kenapa? Karena hari
ini adalah hari pertama aku masuk kuliah. Hari pertama dimana aku benar-benar
disebut mahasiswa. Dan seperti kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, agenda hari
pertama adalah OSPEK. Kegiatan yang sama ketika MOS di SMA. Walaupun aku sangat
malas mengikutinya, namun aku selalu mencoba untuk menikmatinya. Mungkin ada
sesuatu yang menarik dibalik ospek ini. Kuliah
itu hanya mempunyai tiga kenikmatan, dan jika tiga hal itu tidak kita ikuti,
sama halnya kita tidak pernah kuliah, yaitu: ospek, KKN, dan Wisuda. Tiba-tiba
kata-kata itu terlintas di benakku. Kata-kata yang aku dapat dari seorang guru
SMA-ku. Dan kata-kata itulah yang mendorongku untuk mengikuti ospek ini.
Hampir
satu minggu aku mengikuti ospek. Dan selama itu pula aku belum merasakan
kenikmatan itu. Walaupun memang harus aku akui, ospek memang cukup
menyenangkan. Dan hari ini adalah hari terakhir ospek. Banyak acara-acara yang
diadakan untuk memeriahkan penutupan malam nanti. Mahasiswa-mahasiswa senior
pun juga banyak yang mengadakan pameran-pameran di lapangan utama kampus. Ada
yang menawarkan hasil kerajinan tangan mereka, ada pula yang menawarkan aneka
makanan dan minuman. Dalam hati aku berkata: wah ini penutupan ospek apa bazar ya? Tapi yang jelas, ini sangatlah
luar biasa.
Dan
akhirnya malampun tiba. Aku dan beberapa teman baruku jalan-jalan mengelilingi
pameran-pameran yang diadakan oleh senior kami. Dari sini aku dapat
menyimpulkan bahwa ini tak hanya sekedar pameran, namun ini juga ajang
perkenalan organisasi kepada mahasiswa baru. Atau dalam bahasa sederhananya ini
adalah ajang pengkaderan yang dilakukan oleh mahasiswa senior kepada mahasiswa
baru untuk ikut dalam organisasinya. Kreatif sekali mahasiswa kampus ini.
Rasanya aku tak salah memilih untuk kuliah di kampus ini. Kampus yang akan
membawaku kepada kesempurnaan. Tiba-tiba salah seorang teman perempuan menepuk
punggungku, membuyarkan semua lamunanku. “Hey… ngelamun aja? Kita-kita mau
mencoba liat cafe yang ada di sana, kamu mau ikut nggak?” Sambil ia menunjuk
sebuah tenda yang nampaknya menyediakan makanan, bertuliskan “Penghapus Lapar
Spesial”. “Nggak ah… aku masih kenyang, aku mau lihat-lihat kerajinan tangan
saja.” Aku menolak ajakan teman-teman, karena memang aku masih kenyang dan di
samping itu persediaan dana juga tipis. “Oke dech… tapi nanti baliknya
bareng-bareng ya?” Sahut mereka kompak. Dan aku hanya membalasnya dengan
senyuman sambil menyaksikan mereka berlima berlarian membelakangiku menuju ke
cafe mini itu. Alif, Devi, Tria, Reza, dan Erik. Mereka berlima adalah
orang-orang yang berjasa atas hidupku di kota perantauan ini. Setidaknya untuk
tiga minggu pertama ini. Alif adalah teman satu kostku, dia menawariku untuk
ikut tinggal di tempat kostnya. Dia cukup cerdas dan kreatif. Karena itulah
sejak SMA sampai sekarang rasa cinta Tria kepadanya masih bertahan. Memang
mereka sangat cocok, Tria adalah wanita yang cantik dangan penampilan yang
mempesona mata lelaki yang memandangnya, walau ia sering berpenampilan
sederhana. Sedangkan Erik adalah orang yang sangat gokil. Ia selalu bertindak
aneh. Setidaknya dalam satu minggu ospek, ia selalu menjadi hiburan tersendiri
untuk teman-teman ospek satu kelompok. Dan karena sifat gokilnya inilah yang
membuatku klop dengannya. Reza dan Devi. Menurutku kedua orang ini hampir sama
tipenya. Selalu berpenampilan serba ‘wah’ dan selalu menuntut segala sesuatu
harus ‘perfect’. Di banding mereka bertiga, Reza cenderung pendiam dan selalu
menampakkan bahasa tubuh yang ‘dewasa’. Devi sebenarnya juga sangat cantik,
hanya saja dia terlihat cuek dan judes. Reza adalah teman Erik satu kontrakan,
dan Devi adalah teman satu kost dengan Tria. Hanya Alif dan Tria saja yang
menjalin hubungan istimewa di antara kami. Namun, tanda-tanda bahwa Erik
menyukai Devi juga semakin terlihat olehku. Namun anehnya Devi tidak
menunjukkan hal yang sama. Dan Reza, walaupun ia bukan orang yang banyak bicara
dan bercanda seperti kami, namun ia adalah orang yang mudah mencintai dan mudah
juga meninggalkan cintanya. Menurutnya, dari sekian cewek yang pernah ia
pacari, belum ada yang benar-benar menyentuh dan membuat hatinya bergetar. Dan
oleh sebab itulah ia sering berganti pacar, ia berusaha menemukan cinta sejatinya.
Setidaknya itulah yang ia ceritakan pada kami.
Aku
kembali melanjutkan misiku malam itu. Mengitari seluruh tenda dan berkenalan
dengan semua senior serta melihat semua wujud kreativitas mereka. Ku masuki
satu persatu tenda pameran itu. Banyak sekali senior yang menawarkan agar aku
ikut ke dalam organisasinya. Hanya senyuman yang aku berikan kepada senior,
sebagai bentuk jawabanku atas tawarannya. Tiba-tiba mataku tergiring ke salah
satu tenda yang cukup berbeda dengan yang lain. ‘Berpikir Kritis ala Catur’.
Tulisan itu terpampang di depan tenda itu. Catur. Satu hal yang mengingatkan
aku kepada masa-masa SMA. Terutama kepada Rahayu. Aku dekat dengan dia karena
berawal dari catur. Dan kami saling mencintai juga karena catur. Tanpa berpikir
panjang, aku langsung menuju ke tenda itu. Lagipula aku juga sangat menyukai
olahraga yang satu ini. Ternyata di tenda itu ada dua kegiatan: lomba catur
bagi mahasiswa baru maupun lama dan pelatihan catur yang dilakukan oleh salah
satu dosen pembimbing dan pelatih catur di kampus ini. Banyak dari mahasiswa,
terutama mahasiswa baru, yang antusias terhadap kegiatan itu. Mereka tak hanya
mengikuti, namun juga menjadi penonton kegiatan itu. Lama aku tak bergerak dari
tempat itu. Aku begitu menikmati permainan catur yang teman-teman lakukan.
Hingga aku tertarik untuk ikut dalam lomba itu. Namun sayang, aku harus
menghadapi lawan yang cukup berat. Andalan kampus ini dalam mengikuti lomba
catur tingkat apapun. Walau demikian, aku sangat menikmati suasana di tempat
ini.
Tiba-tiba
ada sesosok wanita yang sepertinya tak asing bagiku. Ia berdiri dipojok pintu
masuk gerbang ini. Senyuman mempesona itu keluar dari bibir tipisnya ketika
melihat teman-teman mahasiswa berpikir keras menjalankan bidak caturnya. Cukup
kaget aku dibuatnya. Tak lama kemudian ia mengalihkan pandangannya. Dan
sepertinya ia menemukan pandanganku. Perasaan kaget dan tak menyangka.
Setidaknya itulah yang aku tangkap dari sorot matanya. Iya, dia adalah Rahayu.
Dua bulan lebih kami tak saling bertemu dan berkomunikasi. Dan malam ini, kami
dipertemukan di sini. Dalam beberapa menit kami hanya beradu pandangan dan
melempar senyum satu sama lain. Seolah badan ini terasa kaku dan enggan
melepaskan senyuman. Senyuman yang sudah lama tak terlihat mata ini.
Perlahan
aku berjalan menghampirinya. Dengan penuh senyum dan rasa bahagia aku sapa dia.
“Hay… apa kabar?” Dengan penuh rasa canggung dan sedikit takut, aku mengulurkan
tangan untuk berjabat tangan. Sesuatu yang tak aku duga dia tunjukkan kepadaku.
Dengan penuh senyum bahagia dan wajah ceria dia menyambut tanganku, dan berkata
kepadaku. “Hay juga… baik-baik saja, kamu gimana? Kuliah di sini juga?” Sorot
matanya tajam memandang ke arahku, seolah dia ingin mencari sendiri jawaban
dari pertanyaannya. Sebenarnya aku tak menyangka respon yang begitu bersahabat
dia tunjukkan kepadaku kali ini. Mengingat sudah dua bulan lebih aku tidak
pernah menghubungi dia. Aku mengira di pertemuan ini aku akan mendapat amarah
darinya, ternyata tidak. Walau demikian aku merasa bersalah kepadanya. Aku
pegang tangannya dan aku ajak dia duduk di teras salah satu ruang kuliah dekat
pertemuan kami. Ia hanya memandang ke arahku dengan sorot mata yang terkejut
akan tindakanku. Ia seolah bertanya-tanya apa yang aku lakukan kepadanya.
Sambil
duduk berdua, aku katakan semuanya. Disaksikan gelapnya malam dan terangnya
bulan sabit.
“Aku
juga baik saja kok… iya, aku juga kuliah di sini, kamu juga ya?” Dia hanya
mengangguk dan memandaangku sekejap. Kami terdiam untuk beberapa saat. Entah
aku juga tak tahu, apa yang terjadi di antara kami ketika itu. Bingung satu
sama lain.
“Ayu…”
“Budi…” Tiba-tiba kami saling memanggil satu sama lain secara bersamaan. Kami
hanya melongo dan tawapun pecah di antara kami. “Oke… berhubung kita sama-sama
mau bicara, kamu duluan dech yang ngomong, kan ‘ladies first’.” Aku tersenyum
sambil mempersilahkan dia untuk mengatakan sesuatu yang akan ia katakana.
Kembali tawa pecah di antara kami. “Oke-oke… aku setuju ‘ladies first’, tapi
yang ngajak duduk di sini kan kamu, jadi silahkan cowok ngomong dulu.” Lagi,
kami saling tertawa terbahak-bahak.
“Sebenarnya
aku hanya mau bilang maaf. Maaf, karena dua bulan lebih aku tak menghubungimu.
Bukan aku melupakanmu atau apa. Tapi, HP aku jual untuk menutupi kekurangan
biaya masuk kuliah di sini. Dan sebenarnya setiap hari aku selalu berharap
bahwa kamu juga kuliah di sini. Dan akhirnya kita bertemu juga di sini.”
Kulihat
ia hanya tersenyum manis mendengar kata-kataku. “Sama seperti yang kamu bilang
dulu. Saat kita juga duduk di depan kelas seperti ini. ‘Jika jodoh, pasti kita
akan bertemu kembali di satu tempat menuntut ilmu’. Dan ternyata kita bertemu
di kampus ini.”
“Dan
aku harap kita berjodoh untuk selamanya.” Aku membalas kata-kata Rahayu.
Kembali, ia tersenyum manis dan memandang ke arahku. Kubalas senyumannya,
dengan manis pula. Lama kami berduaan di teras itu. Bercahayakan bintang dan
berteman gelap. Sangat romantis memang suasana itu. Kami sangat menikmati
obrolan kami satu sama lain. Hingga dua orang cewek menghampiri kami dan
memanggil Rahayu.
“Ayu…
ayo balik ke kost. Udah malam nih..!!” Salah seorang cewek itu berkata kepada
Rahayu.
“Iya…
ayo!!” Rahayu mengiyakan ajakan dua cewek itu. Yang ternyata mereka adalah
teman satu kost Rahayu.
“Aku
pulang dulu ya? Besok kita ketemu lagi..!!” Dia berpamitan kepadaku. Dan yang
tak ketinggalan adalah senyuman manis dari bibir tipis itu. Aku hanya bisa
membalas senyumannya, dan mengiyakan dia untuk pulang ke kostnya.
Kulihat
Rahayu berjalan menjauh dari pandanganku. Aku berharap bahwa malam ini akan terus
terulang dan takkan pernah terhenti walau raga tak lagi melekati jiwa. Memang
benar, jika jodoh pasti akan bertemu kembali. Karena kita akan saling merasakan
satu sama lain: apapun, kapanpun, dan dimanapun. Percayalah, jika jodoh walau
kita terpisah jauh, pasti kita akan bertemu kembali. Layaknya Rahayu.
BEK130592
Tidak ada komentar:
Posting Komentar