Translate

Jumat, 16 Agustus 2013

LAHIR & BATIN



Malam ini masih sama seperti malam sebelumnya. Terpaku di depan laptop mini, ditemani secangkir kopi yang tak pernah manis dan beberapa batang kretek yang masih enggan aku nyalakan. Dan yang tak pernah ketinggalan adalah lagu super mellow nan klasik. Entah apa alasannya, tapi lagu yang mellow-lah yang selalu memberi aku tambahan imajinasi yang inspiratif dalam mengisi waktu luang ini. Entah itu menulis fiksi maupun non-fiksi.
Mungkin bagi sebagian orang, kebiasaanku ini adalah perilaku orang kuper. Setiap malam hanya termenung di depan laptop, entah mengetik atau nonton film atau bahkan nge-game. Hingga puncaknya pada malam ini. Entah kenapa malam ini rasanya begitu membosankan nan melelahkan. Seperti terbang ke angkasa dengan parasut dan terjatuh di gunung yang tak pernah bisa kita daki. Terus aku cari, apa yang hilang pada malamku ini. Mungkinkah memang seharusnya aku mengikuti tradisi para muda-mudi pada umumnya, pergi keluar rumah atau dalam bahasa kerennya hang out bersama para cewek-cewek, entah itu pacarnya ataupun hanya “sewaan” semalam. Ataukah memang malam ini adalah malam di mana untuk pertama kalinya aku harus terpenjara dalam kesendirian yang tak pernah atau lebih tepatnya tak tahu kapan akan berakhir. Namun, aku bukanlah pecundang yang menyerah begitu saja pada kegelapan hati dan kegelapan cahaya lampu akibat pemadaman. Aku adalah orang yang selalu bermimpi dan berimajinasi. Walau banyak yang bilang mimpi itu adalah pembawa kekecewaan dan imajinasi itu adalah sahabat kegagalan. Karena imajinasi sangat jauh dari realita, dan hidup menurut mereka adalah realita. Namun jangan khawatir, karena aku adalah garda terdepan yang akan melawan teori itu. Aku adalah pemuja mimpi dan imajinasi. Hidup adalah rentetan mata rantai, dan rentetan mata rantai itu kita ukir dari mimpi. Jika kita tak bermimpi atau bahkan tak punya mimpi, kita masih bisa mempunyai mata rantai, namun kita tak bisa membuat mata rantai itu saling berhubungan satu sama lain. Karena mimpi adalah perekat untuk rentetan itu. Begitu pula imajinasi, bagaimana mungkin kita bisa berkarya jika kita tak punya imajinasi? Bahkan Einstein pun berpendapat bahwa “imajinasi itu tak terbatas, sedangkan ilmu pengetahuan itu terbatas”. Lalu masihkah kita membohongi diri bahwa imajinasi adalah mesin dalam berkarya? Imajinasi jauh lebih dalam dan luas dalam menuntun kita berkarya di kehidupan serba realistis ini.
Sebenarnya kita bisa menjadi seorang yang sukses, baik dalam status sosial maupun dalam status yang lainnya, tanpa harus mengutamakan mimpi dan imajinasi. Namun, saya sangat pesimistis bahwa kesuksesan itu juga membawamu mengenali dirimu sendiri. Mungkin ketika kamu sukses tanpa mimpi dan imajinasimu, itulah saat di mana kamu menjadi orang lain. Dan pertanyaannya, sampai kapan kau akan bertahan menjadi orang lain? Berapa lama? Sanggupkah engkau beserta orang terdekatmu melihatnya?
Sangat sulit untuk kita jawab. Dan mungkin jika saya yang harus dihadapkan pada pertanyaan itu, saya memilih lari dan rela dikatakan pecundang. Karena memang pertanyaan itu seperti pedang: tajam dan menyayat. Namun, aku selalu ingat akan sebuah peribahasa: mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Dan mungkin bagi kita atau setidaknya untuk aku sendiri, berjalan menempuh kehidupan yang sakit ini di atas rel mimpi dan imajinasi adalah pilihan yang jitu untuk mencapai kesuksesan yang hakiki, yakni kebahagiaan lahir batin. Atau jika tidak bisa mencapai kesuksesan itu, cukuplah tidak menjadi pesakitan di kehidupan ini. Lahir dan batin.

BEK130592

Tidak ada komentar:

Posting Komentar