Malam
ini masih sama seperti malam sebelumnya. Terpaku di depan laptop mini, ditemani
secangkir kopi yang tak pernah manis dan beberapa batang kretek yang masih
enggan aku nyalakan. Dan yang tak pernah ketinggalan adalah lagu super mellow nan
klasik. Entah apa alasannya, tapi lagu yang mellow-lah yang selalu memberi aku
tambahan imajinasi yang inspiratif dalam mengisi waktu luang ini. Entah itu
menulis fiksi maupun non-fiksi.
Mungkin
bagi sebagian orang, kebiasaanku ini adalah perilaku orang kuper. Setiap malam
hanya termenung di depan laptop, entah mengetik atau nonton film atau bahkan
nge-game. Hingga puncaknya pada malam ini. Entah kenapa malam ini rasanya
begitu membosankan nan melelahkan. Seperti terbang ke angkasa dengan parasut
dan terjatuh di gunung yang tak pernah bisa kita daki. Terus aku cari, apa yang
hilang pada malamku ini. Mungkinkah memang seharusnya aku mengikuti tradisi
para muda-mudi pada umumnya, pergi keluar rumah atau dalam bahasa kerennya hang
out bersama para cewek-cewek, entah itu pacarnya ataupun hanya “sewaan”
semalam. Ataukah memang malam ini adalah malam di mana untuk pertama kalinya
aku harus terpenjara dalam kesendirian yang tak pernah atau lebih tepatnya tak
tahu kapan akan berakhir. Namun, aku bukanlah pecundang yang menyerah begitu
saja pada kegelapan hati dan kegelapan cahaya lampu akibat pemadaman. Aku
adalah orang yang selalu bermimpi dan berimajinasi. Walau banyak yang bilang
mimpi itu adalah pembawa kekecewaan dan imajinasi itu adalah sahabat kegagalan.
Karena imajinasi sangat jauh dari realita, dan hidup menurut mereka adalah
realita. Namun jangan khawatir, karena aku adalah garda terdepan yang akan
melawan teori itu. Aku adalah pemuja mimpi dan imajinasi. Hidup adalah rentetan
mata rantai, dan rentetan mata rantai itu kita ukir dari mimpi. Jika kita tak
bermimpi atau bahkan tak punya mimpi, kita masih bisa mempunyai mata rantai,
namun kita tak bisa membuat mata rantai itu saling berhubungan satu sama lain.
Karena mimpi adalah perekat untuk rentetan itu. Begitu pula imajinasi,
bagaimana mungkin kita bisa berkarya jika kita tak punya imajinasi? Bahkan
Einstein pun berpendapat bahwa “imajinasi itu tak terbatas, sedangkan ilmu
pengetahuan itu terbatas”. Lalu masihkah kita membohongi diri bahwa imajinasi
adalah mesin dalam berkarya? Imajinasi jauh lebih dalam dan luas dalam menuntun
kita berkarya di kehidupan serba realistis ini.
Sebenarnya
kita bisa menjadi seorang yang sukses, baik dalam status sosial maupun dalam
status yang lainnya, tanpa harus mengutamakan mimpi dan imajinasi. Namun, saya
sangat pesimistis bahwa kesuksesan itu juga membawamu mengenali dirimu sendiri.
Mungkin ketika kamu sukses tanpa mimpi dan imajinasimu, itulah saat di mana
kamu menjadi orang lain. Dan pertanyaannya, sampai kapan kau akan bertahan
menjadi orang lain? Berapa lama? Sanggupkah engkau beserta orang terdekatmu
melihatnya?
Sangat
sulit untuk kita jawab. Dan mungkin jika saya yang harus dihadapkan pada
pertanyaan itu, saya memilih lari dan rela dikatakan pecundang. Karena memang
pertanyaan itu seperti pedang: tajam dan menyayat. Namun, aku selalu ingat akan
sebuah peribahasa: mencegah jauh lebih baik daripada mengobati. Dan mungkin
bagi kita atau setidaknya untuk aku sendiri, berjalan menempuh kehidupan yang
sakit ini di atas rel mimpi dan imajinasi adalah pilihan yang jitu untuk
mencapai kesuksesan yang hakiki, yakni kebahagiaan lahir batin. Atau jika tidak
bisa mencapai kesuksesan itu, cukuplah tidak menjadi pesakitan di kehidupan
ini. Lahir dan batin.
BEK130592
Tidak ada komentar:
Posting Komentar