Translate

Minggu, 17 Februari 2013

TRILOGI: PAK TUA, KAKATUA, SAMPAH


TRILOGI: PAK TUA, KAKATUA, SAMPAH
Senja telah menyapaku kembali. Nyanyian ayam telah membawaku kembali ke dunia nyata. Dunia yang sebenarnya enggan untukku tatap. Aku lebih nyaman bertarung di dunia maya. Dunia mimpi. Namun, senyuman Sang Fajar lah yang membuat aku mencoba bangun dari indahnya mimpi. Menatap terangnya mentari. Menyambut realita dunia. Dunia nyata.
Dinginnya kabut membawaku bersujud. Menengadahkan jiwa ke hadapan Sang Pencipta. Ilahi Rabbi. “Ya Allah.. Engkau Yang Maha Pengasih, Engkau Yang Maha Penyayang, Engkau Yang Maha Sempurna. Ya Rabb.. terimakasih atas segala hal yang telah Engkau anugerahkan kepadaku. Hamba mohon ampunan-Mu Ya Rabb, selama ini, sampai detik ini, hamba belum bisa melaksanakan amanat-Mu, hamba belum bisa mensyukuri apa yang telah Engkau berikan kepadaku, hamba mohon ampun Ya Rabb. Ya Allah.. ijinkanlah hamba untuk bernapas lagi Ya Allah.. ijinkan hamba untuk bisa melaksanakan amanat-Mu, kholifah fil ardh. Hanya Engkau penolongku dan hanya Engkau pembimbingku. Ya Allah..”
Termenung. Hanya itu yang dapat aku lakukan. Kulihat ketiga benda yang telah menemani aku beberapa tahun ini. Karung besar, besi sebesar jari telunjuk yang panjangnya 1 meter, dan sebuah kardus bekas yang berisi: 1 baju putih, 1 sarung, dan sebuah sajadah, yang kesemuanya adalah pemberian dari Pak Haji tetanggaku yang dulu. Iya dulu, sebelum aku terkatung-katung di kota ini. Sebelum aku menjadi “sampah” di tempat kelahiranku. Sebelum aku menjadi pemulung. Siapa yang mau menjadi pemulung? Semua orang tak ada yang mau. Begitu juga aku. Seharusnya aku sama seperti mereka: menikmati segala kemewahan dan kecantikan dunia yang telah dikumpulkan sejak muda. Keluarga yang aku besarkan dari kecil, dari nol, kini justru membuat aku menjadi “nol”. Teganya mereka. Lama aku berada dalam lamunan yang semu. Hingga seorang teman datang padaku. Teman yang setiap pagi selalu menghampiriku. Teman yang selalu hinggap di depan gubuk kayuku. Teman yang namanya sama dengan keadaan jasmaniku. Dialah Kakatua. Iya, seekor burung. Namun, dialah teman yang paling baik. Setidaknya lebih baik dari manusia. Dia tak meminta buah atau makanan kepadaku, dia ikhlas menjadi temanku. Tak seperti manusia, yang mau mendekat ketika ada makanan, dan menjauh ketika ada derita.
“Hallo Pak Tua…tak pernah aku menemuimu tiap pagi, kecuali kau selalu dalam keadaan melukis impian di dunia semu.”
“Wahai Kakatua…kenapa kau pagi ini begitu puitis. Ada apa gerangan? Apakah kau juga ingin seperti “WS. Rendra”?? Menggemparkan Nusantara dengan sajak menyentuhnya??”
“Jangan salah Pak Tua! Walau WS. Rendra begitu hebat dalam berpuisi, aku tak mau menjadi seperti dia.”
“Kenapa?”
“Aku mau jadi diriku sendiri. Walau aku Kakatua, namun aku jauh lebih hebat daripada seorang manusia sekalipun.  Aku bangga menjadi diriku sendiri yang menyenangkan, walau aku tahu kalau aku hanya seekor kakatua.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata dari burung itu. Bahkan lama kelamaan aku tertawa lebar dengan kata-kata yang baru aku dengar. Aneh sekali. Kebanggaan dan keyakinan pada diri sendiri yang sangat kuat. Sangat aneh untuk dunia seperti sekarang.
“Kenapa kau begitu yakin akan dirimu? Bukankah sekarang ini menjadi diri sendiri dan bangga akan diri sendiri itu sebuah hal yang lucu, bahkan sebuah aib. Manusia tak akan mendapat uang jika mereka masih menjadi diri sendiri. Kalau tak mendapat uang, mereka dan keluarga mereka akan kelaparan. Hingga akhirnya akan seperti aku: menjadi sampah.”
“Salah! Menurutku bukan begitu Pak Tua. Justru mereka yang tak menjadi diri sendirilah yang akan menjadi sampah. Memang secara kasat mata kita dapat melihat mereka begitu bahagia dan menjadi raja dengan uang yang mereka miliki, namun dari segi yang lain mereka adalah sampah. Status “sampah” atau “raja” bukan dilihat dari banyaknya uang, atau kedudukan Pak Tua, namun dari ketaatan kita kepada Sang Pencipta: yaitu melalui hati dan akhlak kita Pak Tua.”
“Aku setuju dengan perkataanmu. Namun, bukankah hanya sebuah lelucon jika perkataan itu kita ceramahkan kepada umat sekarang?”
“Kita harus optimis Pak Tua. Kita harus yakin bahwa idealisme kita benar dan bisa diterima serta bisa berkembang untuk mewujudkan masyarakat madani. Ingat Pak Tua! Sebenarnya krisis yang dihadapi Negara kita bukanlah krisis moneter atau krisis lainnya. Krisis yang melanda kita adalah krisis kepercayaan. Yaitu kepercayaan pada diri sendiri. Kita malu menjadi diri sendiri. Menjadi bangsa Indonesia. Kita juga tak mempunyai rasa percaya diri. Akibatnya kita tak bangga kepada bangsa sendiri dan tak mencintai bangsa sendiri. Seharusnya pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan “mencintai diri sendiri” Pak Tua, bukan yang lainnya.”
“Kenapa kau justru kampanye dihadapanku? Apa kau ingin menjadi Presiden?”
Tiba-tiba Kakatua tertawa terbahak-bahak hingga bernyanyi riang. Ia nampak terhibur dengan candaanku. Aku pun mengimbanginya dengan tertawa kecil.
“Oke Pak Tua… Kau memang cukup lucu layaknya comedian. Tapi ingat Pak Tua, memang dunia ini sudah menjadi lelucon belaka, namun kita tak boleh terlena dan tertawa riang di dalamnya.”
Hening. Mendengar ucapan dari Kakatua, aku sedikit merenung. Aku teringat akan kata-kata dari Ranggawarsita, dalam Serat Kalatida yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Sebagai manusia memang kita hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Ilahi yang menentukan. Namun, apapun yang terjadi, kita harus tetap ingat kepada Ilahi, dan tetap berhati-hati dalam melangkahkan kaki di jalan kehidupan. Dan yang harus kita ingat: bahwa segala yang ada di dunia ini segalanya bermakna dan bermanfaat bagi kehidupan. Sebagai contoh, siapa yang menyangka bahwa seekor Kakatua memiliki pemikiran yang bijak layaknya motivator. Mentari sudah mulai meninggi, seakan memanggilku untuk bersiap, menggali butiran “debu kehidupan” di tengah lautan sampah. Aku lihat semua peralatanku, aku raih mereka. Segera aku berdiri menyongsong rejeki hari ini.
“Wahai Pak Tua… Mau ke mana kau?” Kakatua kaget melihat aku yang bergegas berdiri meninggalkannya.
“Kamu tak perlu tau Kakatua. Yang jelas aku mau mencari kehidupan. Karena kehidupan tak pernah mencari kita.” Jawabku sambil berjalan membelakangi Kakatua.
“Baiklah… Jangan menyerah Pak Tua! Dunia akan menangis bila melihat kita menyerah!” Terdengar kepakan sayap Kakatua yang terbang meninggalkan gubuk.

Tak ada hal yang berbeda dari jalanan ini. Riuh dengan jutaan kendaraan. Asap yang selalu menjejali nafas. Dan yang selalu membuat saya heran adalah ribuan sampah yang tercecer di mana-mana. Padahal setiap hari selalu aku pungut dan tak hanya itu, tempat sampah pun juga banyak “berkeliaran”. Namun, kenapa sampah masih begitu menghiasi kebersihan kota ini? Apakah mereka tak mau kita buang? Atau kita sendiri, sebagai manusia, yang tak mau membuang mereka secara benar? Hanya diri kita yang bisa menjawab.
Ribuan langkah aku menyusuri jalanan ini. Mencari “mutiaraku” di tengah “sisa” orang lain. Hingga aku pun sampai ke “surganya” orang sepertiku. Tempat Pembuangan Akhir. Tua muda, pria wanita, semua aku temukan di sini. Mereka sibuk bergelut dengan sampah. Bau busuk nan menyengat pun seolah menjadi wewangian bagi kami. Yang kami pikirkan hanyalah satu hal: “mutiara” yang bisa menghidupi kami. Setidaknya untuk menebus sebungkus nasi di warung. Lama aku mondar-mandir di tempat ini. Nampaknya aku kesiangan. Sudah tak banyak “mutiara” yang aku temukan di sini. Hingga aku menemui benda yang aneh. Benda yang tak sepantasnya berada di sini. Benda yang seharusnya berada di sana. Di gedung-gedung besar nan menjulang itu. Aku hampir tak percaya. Hingga aku pun mengambilnya. Aku pegang benda itu. Ternyata benar. Ukiran Burung Garuda lengkap dengan Pancasilanya. Persis, dan tak lain tak salah lagi, benda yang aku pegang ini adalah Garuda Pancasila, lambang Republik ini. Namun, kenapa lambang Negara berada di tempat seperti ini? Kenapa lambang Negara malah digeletakkan bersama bau busuk tumpukan sampah? Apakah Negara ini sudah tak menghargai ideologinya? Ataukah kita sudah tak memakai ideologi bangsa dalam kehidupan ini? Dan lagi-lagi hanya diri kita sendirilah yang mampu menjawabnya. Aku masukkan Garudaku ke dalam karung. Kuteruskan langkah. Kembali aku bergelut dengan sampah-sampah itu. Hingga aku rasakan terik matahari telah membakar tubuh renta ini. Aku pun menyerah. Kucuran keringat mengiringi jalanku keluar dari tempat ini. Namun, sepertinya tubuh ini sudah tak mau untuk diajak berjalan. Semua sendiku telah lemas. Rasanya tubuh ini mendemo aku, sudah dari kemarin aku tidak memberinya makanan. “Mutiaraku” telah habis. Seminggu terakhir hujan selalu menyelimuti kota ini, hingga aku tak bisa mencari kehidupanku. Jika maaf sanggup menggantikannya, aku akan memohon ribuan maaf kepadamu, wahai ragaku. Akhirnya aku putuskan untuk mengistirahatkan raga ini. Pohon besar nan rindang di balik TPA menjadi rumah sementara bagiku siang ini. Sepertinya raga ini memang benar-benar tak kuasa lagi untuk sekedar berdiri. Tak ada yang kulakukan selain berbaring. Tiba-tiba aku teringat dengan benda berharga tadi. Garuda Pancasila. Aku pegang dan kupandangi benda itu. Kosong. Tak terlintas apapun di otak ini. Mungkin ragaku sudah terlalu lelah untuk menuruti jiwaku berpikir. Tiba-tiba terdengar suara tak asing muncul dari atas pohon.
“Wahai Pak Tua… Mengapa kau berbaring di bawah pohon ini? Apa gubukmu sudah dimakan rayap lagi?” Kakatua sedikit mengejekku kali ini.
“Aku hanya mencoba bersahabat dengan pohon ini, wahai Kakatua.” Jawabku datar.
“Benda apa itu Pak Tua? Sepertinya itu Garuda Pancasila, lambang Negara ini, dari mana kau mencurinya?” Kali ini Kakatua sedikit curiga kepadaku.
“Aku tidak mencurinya Kakatua, aku menemukan ini di TPA itu.” Sambil aku menunjuk ke arah TPA itu.
“Yang benar saja Pak Tua? Apa yang terjadi dengan bangsa ini, hingga lambang Negara, identitas bangsa, dan ideologi warga negaranya bisa tercecer begitu saja bersama tumpukan ribuan sampah busuk? Apa kita sudah tak mencintai Negara ini? Apa bangsa kita sudah tak berbudi lagi?”
”Sudahlah…”
“Pantas saja! Negara ini tak henti didera korupsi terus menerus, narkoba yang tak henti mencandu, bencana yang berkepanjangan, kriminalitas yang tiada henti, dan…”
“Sudahlah Kakatua! Sudahlah!” Kali ini aku berbicara dengan nada keras walau aku sudah tak memiliki raga sekeras 2 hari yang lalu. Aku hanya tak ingin Kakatua terus menerus menghujat orang lain. “Janganlah kau menghujat orang lain Kakatua. Kita perbaiki diri kita dahulu. Karena dengan memperbaiki diri sendiri adalah satu langkah pasti untuk memperbaiki sekitar kita. Namun, terus menerus menghujat orang lain adalah satu langkah pasti mencapai kemunduran. Tidak hanya bagi sekitar, namun juga bagi diri sendiri. Lagipula, tak semua penduduk negeri ini berkelakuan buruk, masih banyak orang-orang baik di negeri ini.”
“Tapi Pak Tua…”
“Sudahlah..!! Lebih baik kau tolong aku.” Aku memotong perkataan Kakatua.
“Kau minta tolong apa Pak Tua? Katakan saja, aku selalu ada untukmu.”
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Kakatua. “Ragaku sudah tak mau kompromi dengan jiwaku. Ragaku sudah tak mau lagi aku ajak sekedar berdiri. Sudah dari kemarin ia tak mendapat makanannya.”
“Baiklah Pak Tua. Aku akan mencarikan makan untukmu. Semoga di seberang sana masih ada orang baik seperti kata-katamu tadi.”
“Wahai Kakatua! Jika kau ingin mencarikan makanan untukku, janganlah kau mencarinya dengan minta-minta. Agama dan ideologi kita mengajarkan kita untuk selalu member, bukan meminta-minta. Jikalau kau ingin membantuku, bawalah sekarung sampah ini. Gunakan ini untuk menebus sebungkus nasi di seberang sana.”
“Baiklah Pak Tua. Aku turuti permintaanmu. Berdoalah.”
Kakatua terbang sambil membawa “mutiaraku”. Dan aku hanya diam di pangkuan pohon ini. Berbaring dan menatap Garuda Pancasila yang sejak tadi aku pegang. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Berharap kelak akan ada seorang pemimpin, seorang penerang, seseorang yang mampu mewarisi kelima sila yang dibawa Garuda ini.