TRILOGI:
PAK TUA, KAKATUA, SAMPAH
Senja telah menyapaku kembali. Nyanyian
ayam telah membawaku kembali ke dunia nyata. Dunia yang sebenarnya enggan
untukku tatap. Aku lebih nyaman bertarung di dunia maya. Dunia mimpi. Namun,
senyuman Sang Fajar lah yang membuat aku mencoba bangun dari indahnya mimpi. Menatap
terangnya mentari. Menyambut realita dunia. Dunia nyata.
Dinginnya kabut membawaku bersujud.
Menengadahkan jiwa ke hadapan Sang Pencipta. Ilahi Rabbi. “Ya Allah.. Engkau
Yang Maha Pengasih, Engkau Yang Maha Penyayang, Engkau Yang Maha Sempurna. Ya
Rabb.. terimakasih atas segala hal yang telah Engkau anugerahkan kepadaku.
Hamba mohon ampunan-Mu Ya Rabb, selama ini, sampai detik ini, hamba belum bisa
melaksanakan amanat-Mu, hamba belum bisa mensyukuri apa yang telah Engkau
berikan kepadaku, hamba mohon ampun Ya Rabb. Ya Allah.. ijinkanlah hamba untuk
bernapas lagi Ya Allah.. ijinkan hamba untuk bisa melaksanakan amanat-Mu,
kholifah fil ardh. Hanya Engkau penolongku dan hanya Engkau pembimbingku. Ya
Allah..”
Termenung. Hanya itu yang dapat aku
lakukan. Kulihat ketiga benda yang telah menemani aku beberapa tahun ini.
Karung besar, besi sebesar jari telunjuk yang panjangnya 1 meter, dan sebuah
kardus bekas yang berisi: 1 baju putih, 1 sarung, dan sebuah sajadah, yang
kesemuanya adalah pemberian dari Pak Haji tetanggaku yang dulu. Iya dulu,
sebelum aku terkatung-katung di kota ini. Sebelum aku menjadi “sampah” di
tempat kelahiranku. Sebelum aku menjadi pemulung. Siapa yang mau menjadi
pemulung? Semua orang tak ada yang mau. Begitu juga aku. Seharusnya aku sama
seperti mereka: menikmati segala kemewahan dan kecantikan dunia yang telah
dikumpulkan sejak muda. Keluarga yang aku besarkan dari kecil, dari nol, kini
justru membuat aku menjadi “nol”. Teganya mereka. Lama aku berada dalam lamunan
yang semu. Hingga seorang teman datang padaku. Teman yang setiap pagi selalu
menghampiriku. Teman yang selalu hinggap di depan gubuk kayuku. Teman yang
namanya sama dengan keadaan jasmaniku. Dialah Kakatua. Iya, seekor burung. Namun,
dialah teman yang paling baik. Setidaknya lebih baik dari manusia. Dia tak
meminta buah atau makanan kepadaku, dia ikhlas menjadi temanku. Tak seperti
manusia, yang mau mendekat ketika ada makanan, dan menjauh ketika ada derita.
“Hallo Pak Tua…tak pernah aku menemuimu
tiap pagi, kecuali kau selalu dalam keadaan melukis impian di dunia semu.”
“Wahai Kakatua…kenapa kau pagi ini begitu
puitis. Ada apa gerangan? Apakah kau juga ingin seperti “WS. Rendra”??
Menggemparkan Nusantara dengan sajak menyentuhnya??”
“Jangan salah Pak Tua! Walau WS. Rendra
begitu hebat dalam berpuisi, aku tak mau menjadi seperti dia.”
“Kenapa?”
“Aku mau jadi diriku sendiri. Walau aku
Kakatua, namun aku jauh lebih hebat daripada seorang manusia sekalipun. Aku bangga menjadi diriku sendiri yang
menyenangkan, walau aku tahu kalau aku hanya seekor kakatua.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata-kata
dari burung itu. Bahkan lama kelamaan aku tertawa lebar dengan kata-kata yang
baru aku dengar. Aneh sekali. Kebanggaan dan keyakinan pada diri sendiri yang
sangat kuat. Sangat aneh untuk dunia seperti sekarang.
“Kenapa kau begitu yakin akan dirimu?
Bukankah sekarang ini menjadi diri sendiri dan bangga akan diri sendiri itu
sebuah hal yang lucu, bahkan sebuah aib. Manusia tak akan mendapat uang jika
mereka masih menjadi diri sendiri. Kalau tak mendapat uang, mereka dan keluarga
mereka akan kelaparan. Hingga akhirnya akan seperti aku: menjadi sampah.”
“Salah! Menurutku bukan begitu Pak Tua.
Justru mereka yang tak menjadi diri sendirilah yang akan menjadi sampah. Memang
secara kasat mata kita dapat melihat mereka begitu bahagia dan menjadi raja
dengan uang yang mereka miliki, namun dari segi yang lain mereka adalah sampah.
Status “sampah” atau “raja” bukan dilihat dari banyaknya uang, atau kedudukan
Pak Tua, namun dari ketaatan kita kepada Sang Pencipta: yaitu melalui hati dan
akhlak kita Pak Tua.”
“Aku setuju dengan perkataanmu. Namun,
bukankah hanya sebuah lelucon jika perkataan itu kita ceramahkan kepada umat
sekarang?”
“Kita harus optimis Pak Tua. Kita harus
yakin bahwa idealisme kita benar dan bisa diterima serta bisa berkembang untuk
mewujudkan masyarakat madani. Ingat Pak Tua! Sebenarnya krisis yang dihadapi
Negara kita bukanlah krisis moneter atau krisis lainnya. Krisis yang melanda
kita adalah krisis kepercayaan. Yaitu kepercayaan pada diri sendiri. Kita malu
menjadi diri sendiri. Menjadi bangsa Indonesia. Kita juga tak mempunyai rasa
percaya diri. Akibatnya kita tak bangga kepada bangsa sendiri dan tak mencintai
bangsa sendiri. Seharusnya pembangunan yang dilakukan adalah pembangunan
“mencintai diri sendiri” Pak Tua, bukan yang lainnya.”
“Kenapa kau justru kampanye dihadapanku?
Apa kau ingin menjadi Presiden?”
Tiba-tiba Kakatua tertawa terbahak-bahak
hingga bernyanyi riang. Ia nampak terhibur dengan candaanku. Aku pun
mengimbanginya dengan tertawa kecil.
“Oke Pak Tua… Kau memang cukup lucu
layaknya comedian. Tapi ingat Pak Tua, memang dunia ini sudah menjadi lelucon
belaka, namun kita tak boleh terlena dan tertawa riang di dalamnya.”
Hening. Mendengar ucapan dari Kakatua,
aku sedikit merenung. Aku teringat akan kata-kata dari Ranggawarsita, dalam Serat Kalatida yang jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia:
menyaksikan zaman
gila,
serba susah dalam
bertindak,
ikut gila tidak
akan tahan,
tapi kalau tidak
mengikuti (gila),
tidak akan
mendapat bagian,
kelaparan pada
akhirnya,
namun telah
menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya
orang yang lalai,
akan lebih bahagia
orang yang tetap ingat dan waspada.
Sebagai
manusia memang kita hanya bisa berusaha semaksimal mungkin. Ilahi yang
menentukan. Namun, apapun yang terjadi, kita harus tetap ingat kepada Ilahi,
dan tetap berhati-hati dalam melangkahkan kaki di jalan kehidupan. Dan yang
harus kita ingat: bahwa segala yang ada di dunia ini segalanya bermakna dan
bermanfaat bagi kehidupan. Sebagai contoh, siapa yang menyangka bahwa seekor
Kakatua memiliki pemikiran yang bijak layaknya motivator. Mentari sudah mulai
meninggi, seakan memanggilku untuk bersiap, menggali butiran “debu kehidupan”
di tengah lautan sampah. Aku lihat semua peralatanku, aku raih mereka. Segera
aku berdiri menyongsong rejeki hari ini.
“Wahai
Pak Tua… Mau ke mana kau?” Kakatua kaget melihat aku yang bergegas berdiri
meninggalkannya.
“Kamu
tak perlu tau Kakatua. Yang jelas aku mau mencari kehidupan. Karena kehidupan
tak pernah mencari kita.” Jawabku sambil berjalan membelakangi Kakatua.
“Baiklah…
Jangan menyerah Pak Tua! Dunia akan menangis bila melihat kita menyerah!”
Terdengar kepakan sayap Kakatua yang terbang meninggalkan gubuk.
Tak
ada hal yang berbeda dari jalanan ini. Riuh dengan jutaan kendaraan. Asap yang
selalu menjejali nafas. Dan yang selalu membuat saya heran adalah ribuan sampah
yang tercecer di mana-mana. Padahal setiap hari selalu aku pungut dan tak hanya
itu, tempat sampah pun juga banyak “berkeliaran”. Namun, kenapa sampah masih
begitu menghiasi kebersihan kota ini? Apakah mereka tak mau kita buang? Atau
kita sendiri, sebagai manusia, yang tak mau membuang mereka secara benar? Hanya
diri kita yang bisa menjawab.
Ribuan
langkah aku menyusuri jalanan ini. Mencari “mutiaraku” di tengah “sisa” orang
lain. Hingga aku pun sampai ke “surganya” orang sepertiku. Tempat Pembuangan
Akhir. Tua muda, pria wanita, semua aku temukan di sini. Mereka sibuk bergelut
dengan sampah. Bau busuk nan menyengat pun seolah menjadi wewangian bagi kami.
Yang kami pikirkan hanyalah satu hal: “mutiara” yang bisa menghidupi kami.
Setidaknya untuk menebus sebungkus nasi di warung. Lama aku mondar-mandir di
tempat ini. Nampaknya aku kesiangan. Sudah tak banyak “mutiara” yang aku
temukan di sini. Hingga aku menemui benda yang aneh. Benda yang tak sepantasnya
berada di sini. Benda yang seharusnya berada di sana. Di gedung-gedung besar
nan menjulang itu. Aku hampir tak percaya. Hingga aku pun mengambilnya. Aku
pegang benda itu. Ternyata benar. Ukiran Burung Garuda lengkap dengan
Pancasilanya. Persis, dan tak lain tak salah lagi, benda yang aku pegang ini
adalah Garuda Pancasila, lambang Republik ini. Namun, kenapa lambang Negara
berada di tempat seperti ini? Kenapa lambang Negara malah digeletakkan bersama
bau busuk tumpukan sampah? Apakah Negara ini sudah tak menghargai ideologinya?
Ataukah kita sudah tak memakai ideologi bangsa dalam kehidupan ini? Dan
lagi-lagi hanya diri kita sendirilah yang mampu menjawabnya. Aku masukkan
Garudaku ke dalam karung. Kuteruskan langkah. Kembali aku bergelut dengan
sampah-sampah itu. Hingga aku rasakan terik matahari telah membakar tubuh renta
ini. Aku pun menyerah. Kucuran keringat mengiringi jalanku keluar dari tempat
ini. Namun, sepertinya tubuh ini sudah tak mau untuk diajak berjalan. Semua
sendiku telah lemas. Rasanya tubuh ini mendemo aku, sudah dari kemarin aku
tidak memberinya makanan. “Mutiaraku” telah habis. Seminggu terakhir hujan
selalu menyelimuti kota ini, hingga aku tak bisa mencari kehidupanku. Jika maaf
sanggup menggantikannya, aku akan memohon ribuan maaf kepadamu, wahai ragaku.
Akhirnya aku putuskan untuk mengistirahatkan raga ini. Pohon besar nan rindang
di balik TPA menjadi rumah sementara bagiku siang ini. Sepertinya raga ini
memang benar-benar tak kuasa lagi untuk sekedar berdiri. Tak ada yang kulakukan
selain berbaring. Tiba-tiba aku teringat dengan benda berharga tadi. Garuda
Pancasila. Aku pegang dan kupandangi benda itu. Kosong. Tak terlintas apapun di
otak ini. Mungkin ragaku sudah terlalu lelah untuk menuruti jiwaku berpikir.
Tiba-tiba terdengar suara tak asing muncul dari atas pohon.
“Wahai
Pak Tua… Mengapa kau berbaring di bawah pohon ini? Apa gubukmu sudah dimakan
rayap lagi?” Kakatua sedikit mengejekku kali ini.
“Aku
hanya mencoba bersahabat dengan pohon ini, wahai Kakatua.” Jawabku datar.
“Benda
apa itu Pak Tua? Sepertinya itu Garuda Pancasila, lambang Negara ini, dari mana
kau mencurinya?” Kali ini Kakatua sedikit curiga kepadaku.
“Aku
tidak mencurinya Kakatua, aku menemukan ini di TPA itu.” Sambil aku menunjuk ke
arah TPA itu.
“Yang
benar saja Pak Tua? Apa yang terjadi dengan bangsa ini, hingga lambang Negara,
identitas bangsa, dan ideologi warga negaranya bisa tercecer begitu saja
bersama tumpukan ribuan sampah busuk? Apa kita sudah tak mencintai Negara ini?
Apa bangsa kita sudah tak berbudi lagi?”
”Sudahlah…”
“Pantas saja! Negara ini tak henti didera korupsi
terus menerus, narkoba yang tak henti mencandu, bencana yang berkepanjangan,
kriminalitas yang tiada henti, dan…”
“Sudahlah Kakatua! Sudahlah!” Kali ini aku
berbicara dengan nada keras walau aku sudah tak memiliki raga sekeras 2 hari
yang lalu. Aku hanya tak ingin Kakatua terus menerus menghujat orang lain.
“Janganlah kau menghujat orang lain Kakatua. Kita perbaiki diri kita dahulu.
Karena dengan memperbaiki diri sendiri adalah satu langkah pasti untuk
memperbaiki sekitar kita. Namun, terus menerus menghujat orang lain adalah satu
langkah pasti mencapai kemunduran. Tidak hanya bagi sekitar, namun juga bagi
diri sendiri. Lagipula, tak semua penduduk negeri ini berkelakuan buruk, masih
banyak orang-orang baik di negeri ini.”
“Tapi Pak Tua…”
“Sudahlah..!! Lebih baik kau tolong aku.” Aku
memotong perkataan Kakatua.
“Kau minta tolong apa Pak Tua? Katakan saja, aku
selalu ada untukmu.”
Aku hanya tersenyum mendengar jawaban Kakatua.
“Ragaku sudah tak mau kompromi dengan jiwaku. Ragaku sudah tak mau lagi aku
ajak sekedar berdiri. Sudah dari kemarin ia tak mendapat makanannya.”
“Baiklah Pak Tua. Aku akan mencarikan makan
untukmu. Semoga di seberang sana masih ada orang baik seperti kata-katamu
tadi.”
“Wahai Kakatua! Jika kau ingin mencarikan makanan
untukku, janganlah kau mencarinya dengan minta-minta. Agama dan ideologi kita
mengajarkan kita untuk selalu member, bukan meminta-minta. Jikalau kau ingin
membantuku, bawalah sekarung sampah ini. Gunakan ini untuk menebus sebungkus
nasi di seberang sana.”
“Baiklah Pak Tua. Aku turuti permintaanmu.
Berdoalah.”
Kakatua terbang sambil membawa “mutiaraku”. Dan aku
hanya diam di pangkuan pohon ini. Berbaring dan menatap Garuda Pancasila yang
sejak tadi aku pegang. Hanya itu yang bisa aku lakukan. Berharap kelak akan ada
seorang pemimpin, seorang penerang, seseorang yang mampu mewarisi kelima sila
yang dibawa Garuda ini.